Jakarta, CNN Indonesia -- Hukuman denda dan bui yang selama ini mendera kepala daerah tersangka korupsi, dinilai tak membuat jera. Praktek korupsi tetap marak. Masyarakat dianggap tak mampu memberikan sanksi sosial bagi koruptor.
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, membeberkan banyak hal yang menyebabkan kasus korupsi di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Penyebab pertama, menurutnya lantaran pemidanaan yang terlalu ringan.
Yenti mengatakan, negara-negara seperti Korea Selatan dan Cina, dapat dijadikan contoh yang tepat dalam aksi pemberantasan korupsi. “Kalau mau komparasi, di Korea Selatan dan Cina, untuk pemindanaan koruptor itu sangat berat. Mereka berani memberikan pidana mati. Artinya, hukuman itu akan membuat calon pelaku harus berpikir jika ingin melakukan korupsi,” katanya saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (2/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yenti juga menyebutkan, Australia pernah menjadi negara yang tingkat korupsinya tinggi. Namun, hukum di negeri Kangguru itu lantas berlaku tegas dengan memecat langsung anggota parlemen yang ketahuan korupsi. “Hukuman yang diberikan kepada terpidana koruptor sebaiknya mampu membuat takut calon koruptor,” katanya.
Contohnya adalah dengan menggabungkan penjara untuk koruptor dengan para terpidana kasus pembunuhan. Tidak hanya itu, sangsi dengan wajib memberikan pelayanan di lembaga sosial juga dapat menjadi salah satu cara.
“Sekarang kondisinya malah koruptor ini diberikan penjara yang enak, seperti di Bandung,” ujarnya. “Sedangkan di beberapa negara, koruptor mendapat hukuman berat dengan cara dijauhkan dari keluarganya,” kata Yenti.
Hukuman lainnya, yang dapat memberikan efek jera maksimal kepada para koruptor, menurut Yenti, adalah dengan pelarangan anak-anak koruptor untuk mendapatkan pendidikan di sekolah negeri. Dari sana, kata Yenti, dapat memberikan penderitaan batin yang membuat efek jera.
Minimnya efek jera kepada koruptor itu, menurut Yenti, menyebabkan masyarakat masih menerima dengan luwes keberadaan koruptor di lingkungannya. “Kalau penerimaan masyarakat Indonesia masih
welcome. Artinya, kita harus melibatkan tokoh agama, sosiolog, budayawan,” kata Yenti.