Jakarta, CNN Indonesia -- Selain pemimpin daerah, kasus korupsi juga banyak menjerat para politisi. Padahal, mereka yang duduk di bangku parlemen, awalnya menjual anti-korupsi sebagai
tagline kampanye.
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang Yenti Garnasih menilai, seharusnya pada saat anggota eksekutif, legislatif dan yudikatif mengikrarkan sumpah kerjanya untuk pertama kali, dapat dilugaskan tentang hukuman apa yang akan mereka terima jika sampai melakukan korupsi.
"Seharusnya, sumpah jabatan dikatakan dengan langsung. Langsung dan jelas bahwa dia tidak boleh korupsi. Dan mereka juga harus berjanji bahwa jika kedapatan korupsi, jabatannya langsung dicopot," kata Yenti saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (2/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyatakan, janji-janji 'vulgar' tersebut harus berani diucapkan kepada pemimpin daerah ataupun pemangku kursi parlemen agar mereka paham dengan benar apa saja yang tidak boleh mereka lakukan.
Yenti juga menjelaskan, korupsi memang tidak hanya dilakukan oleh pejabat negara ataupun perusahaan swasta. Akan tetapi, peranan pejabat negara yang ketahuan melakukan korupsi dianggap sangat memalukan. Alasannya, pejabat negara itu lebih sering bertindak sebagai penerima suap. Terlebih lagi, menurut Yenti, dengan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa pejabat korup masih bekerja dan mendapatkan insentif dari negara.
"Politisi paling sulit dilihat untuk keseriusannya dalam memberantas korupsi. Kejadian saat ini adalah beberapa pejabat negara yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa tapi malah masih digaji oleh negara. Kenyataan seperti itu yang membuat korupsi di parlemen dan pemimpin daerah akan sangat sulit diberantas," kata Yenti.