Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Etik Mahkamah Konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar mengatakan masih memproses kasus pelanggaran hukum acara oleh tujuh hakim konstitusi. Pelanggaran tersebut terjadi saat hakim menggelar sidang kasus gugatan PDI Perjuangan soal UU MD3.
"Masih dalam proses, Selasa dan Rabu kami mengundang pelapor yakni PDI Perjuangan untuk menjelaskan isi laporannya," ujar Abdul ketika dihubungi CNN Indonesia, Senin (6/10).
Ketika ditanya ihwal isi laporan, bekas Wakil Ketua MK tersebut enggan berkomentar lebih banyak. "Tunggu, perkara masih dalam proses," kata Abdul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus tersebut dilaporkan oleh Ketua Bidang Hukum PDI Perjuangan Trimedya yang menyebutkan bahwa tujuh hakim konstitusi PDIP melanggar hukum acara. Tujuh hakim tersebut adalah hakim ketua Hamdan Zoelva dan enam hakim anggota yakni Patrialis Akbar, Aswanto, Wahduddin Adams, Ahmad Fadli Sumadi, Muhammad Alim, dan Anwar Usman. Mereka dianggap tidak melindungi hak konstitusionalnya.
Dua hal menjadi landasan bagi Trimedya untuk melaporkan kasus tersebut ke Dewan Etik MK. Pertama, tujuh hakim anggota melalui putusannya menolak gugatan PDI Perjuangan soal paket pimpinan DPR dalam UU MD3. Menurut Trimedya ketika ditemui usai sidang pembacaan putusan, Rabu (29/9), argumen yang dibangun oleh tujuh hakim bahwa kewenangan soal mekanisme pemilihan ketua DPR dikembalikan ke pembuat kebijakan, tidak bisa diterima.
Alasan kedua yakni hakim dianggap tidak memberikan kesempatan kepada PDI Perjuangan untuk menghadirkansaksi ahli dalam persidangan sebelum dilakukan rapat musyawarah hakim dan pembacaan putusan.
Merujuk pada pasal 41 ayat 4 UU Nomor 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan persidangan meliputi pemeriksaan pokok permohonan, pemeriksaan alat bukti tertulis, mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara, mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan keterangan ahli, mendengarkan keterangan pihak terkait, pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk, serta pemeriksaan alat bukti lain. Selain itu, dalam pasal 42A, dijelaskan secara definitif bahwa pihak berperkara termasuk pemohon dapat mengajukan saksi ahli.