Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Agung memperpanjang seleksi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi menjadi hingga 7 November mendatang. Pakar Hukum Pidana Yenti Garnasih mengkritisi syarat menjadi hakim ad hoc korupsi yang tidak spesifik memiliki kemampuan dalam bidang hukum pidana.
"Soal spesifikasi jangan asal hukum. Kalau bisa hukum pidana karena itu fokus di tindak pidana korupsi," kata Yenti ketika dihubungi CNN Indonesia, Selasa (21/10).
Menurut Yenti, penting bagi hakim korupsi memiliki latar belakang hukum pidana lantaran keseharian mereka akan terkait teori hukum pidana dan bahkan pencucian uang mengingat pidana cuci uang kerap mengikuti pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menjadi hakim ad hoc tidak mudah, bukan sekadar memberikan komentar soal korupsi. Bagaimana hakim menilai di pengadilan berdasarkan fakta di pengadilan," ucap Yenti.
Berdasarkan pengalaman sebagai saksi ahli di sejumlah pengadilan tinggi tipikor di daerah, Yenti merasakan kemampuan sejumlah hakim masih minim terhadap topik tersebut. Di antara pengalaman tersebut adalah saat menjadi saksi ahli di Pengadilan Tipikor Kuningan, Jawa Barat dan Pengadian Tipikor Manokwari, Papua. "Saya merasakan ketika diminta pandangan keilmuan, saya menjelaskan panjang lebar dan agak mendalam. Kelihatannya memang bekal pemahaman hakim tentang pencucian uang kurang. Mungkin waktunya yang tidak dipersiapkan," ujar Yenti.
Yenti juga mengkritisi transparansi dan kompetensi penguji serta panitia seleksi. Yenti menilai selama ini panitia tidak transparan sehingga masih ada kecurigaan mengenai hasil akhir seleksi. "Penilainya paham nggak, memenuhi kriteria nggak? Siapa yang jadi penentu akhir? Siapa yang melakukan fit and proper test?" tanya Yenti.
"Jangan sampai orang yang nggak lulus jadi lulus, atau yang bagus jadi tidak lolos karena pengujinya tidak objektif," katanya.
Kecacatan proses seleksi berdampak pada maraknya suap menyuap yang dilakukan hakim ad hoc. Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini tengah memeriksa dua perkara suap yang menimpa hakim ad hoc tipikor. Pertama, Ramlan Comel, hakim ad hoc tipikor pengadilan tinggi Bandung yang terseret kasus suap ketika menangani perkara penyimpangan dana bantuan sosial pemerintah Kota Bandung tahun anggara 2009-2010. Kedua, Pasti Serefina Sinaga, rekan Ramlan yang juga terseret kasus yang sama. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Pakar hukum pidana Muzakkir juga menilai proses seleksi hakim ad hoc tipikor di bawah standar lantaran minimnya ketersediaan sumber daya manusia. Proses seleksi yang dilakukan MA justru dinilai membuat orang berkompeten enggan mendaftar. "Syaratnya terlalu rigid, harus melepas pekerjaannya dan hanya menjadi hakim. Padahal masa jabatan hakim ad hoc itu hanya lima tahun," ujar Muzakkir ketika dihubungi CNN Indonesa, Selasa (21/10).
Profesor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia itu menyatakan, hal itu membuat sejumlah profesional mempertimbangkan syarat tersebut. Sementara latar belakang pelamar selama ini beragam dan bukan hanya dari hukum pidana. "Ada yang dari hukum perdata. Bagaimana putusan pengadilannya kalau misal (latar belakangnya) notaris dan pengetahuan pidananya hanya pelatihan saja (ketika terpilih)?" kata Muzakkir.
Selain intelektualitas, hakim ad hoc juga dinilai harus memiliki kualifikasi moral agar tidak terlibat kasus tindak pidana korupsi dan suap. "Kalau yang mau (disuap), berarti gajinya di bawah standar tipikor. Itu memang motif ekonomi," ujarnya.