Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengaku bakal mengkaji Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika dua RUU itu menjadi fokus prioritas, bukan tidak mungkin pembahasan ulang akan disusun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Sekarang sedang dibahas karena tidak ada peraturan-peraturan yang carry over (dari pemerintahan sebelumnya). Karena sudah diserahkan pemerintah periode lalu, maka itu akan disusun dalam Prolegnas yang akan datang," kata Laoly usai melakukan Serah Terima Jabatan di Graha Pengayoman Kemenkumham, Jakarta, Senin (27/10).
Sejatinya, kata Laoly, Prolegnas itu bisa ada jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menganggap RUU KUHAP dan KUHP menjadi sebuah prioritas untuk kembali dibahas. Dengan demikan keterlibatan pihak legislatif dan eksekutif masih perlu dirujukkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua RUU itu menuai kritik karena dianggap berpotensi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Laoly mengatakan upaya revisi terbuka lebar selama ada pihak yang merasa dirugikan. "Kalau ada tuntutan masyarakat, kami pasti akan mengkaji secara mendalam," ujarnya.
KPK lantang bersuara meminta pembahasan dua RUU tersebut di Komisi III DPR untuk dihentikan. Isi dari dua RUU tersebut dianggap melemahkan kewenangan lembaga antikorupsi dalam menegakkan hukum.
Salah satu permintaan yang diinginkan KPK adalah, pembahasan dua RUU tersebut haruslah melibatkan seluruh lembaga penegak hukum, akademisi dan unsur masyarakat terkait. Namun apa daya, di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, RUU KUHAP dan KUHP kadung diloloskan Kemenkumham ke Presiden. Lantas diserahkan ke DPR untuk dibahas.
Sebagaimana dilansir kemenkumham.go.id, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Reformasi Hukum mengindentifikasi isu-isu krusial dari dua RUU tersebut. Berikut 12 poin yang disinyalir berpotensi melemahkan KPK:
1. Dihapuskannya ketentuan penyelidikan
2. KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK.
3. Penghentian penuntutan suatu perkara. Menurut RUU KUHAP, Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Hakim Komisaris) memiliki kewenangan untuk menghentikan penuntutan suatu perkara.
4. Tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan.
5. Masa penahanan tersangka lebih singkat.
6. Hakim Komisaris dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik dengan jaminan uang atau orang .
7. Penyitaan harus seizin dari hakim
8. Penyadapan harus mendapat izin hakim
9. Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim
10. Putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
11. Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
12. Ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur. Koalisi juga menilai, RUU KUHAP ini terkesan meniadakan KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor. Ini dapat dilihat dari tidak adanya penyebutan lembaga lain di luar kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan (negeri, tinggi, dan Mahkamah Agung). Tanpa penyebutan secara khusus, jika disahkan, regulasi ini dapat menimbulkan polemik atau multitafsir di kemudian hari.