Jakarta, CNN Indonesia -- Peraturan Daerah Syariah Pidana Aceh (Qanun Jinayat) dinilai bertentangan dengan hukum positif yang lebih tinggi. Pertentangan tersebut berpotensi mengancam lumpuhnya penegakan hak perempuan.
Dalam 'Forum Kebangsaan Nasional' yang digelar di Jakarta hari ini, Rabu (5/11), Koordinator Jaringan Pemantau Aceh 231, Soraya Kamaruzzaman, menyebut Qanun Jinayat bertentangan dengan banyak Undang-undang."Qanun Jinayat bertentangan dengan UU HAM, UU Anti Penyiksaan, UU Penghapusan KDRT, dan yang lain," ujarnya.
Dia menambahkan, pelanggaran dalam qanun jinayat timbul dalam beragam bentuk. Di antaranya, inkonsistensi azas hukum yang tercantum dalam pasal 2. "Tidak adanya kewajiban penyidik untuk menemukan siapa pelaku atau pasangan dari orang-orang yang membuat pengakuan, telah melakukan tindak pidana yang sifatnya sukarela," kata Soraya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan demikian, dinilai Soraya, merupakan bentuk penempatan korban dalam posisi yang tidak adil. "Korban yang mengaku bersalah akan dicambuk dan juga ditahan," katanya.
Terlebih, ketidakadilan dapat terjadi saat korban tidak dapat menghadirkan empat orang saksi dalam tindakan pidana seperti pemerkosaan. Karena dalam kasus pemerkosaan, korban dikenai hukuman dua kali. "Sebagai orang yang berzina dan sebagai orang yang menuduh berzina," ujarnya.
Soraya juga mengatakan, bentuk kriminalisasi korban tersebut dapat mematikan HAM. Alasannya, dalam beberapa kasus kekerasan seksual, perempuan seringkali berada dalam posisi sebagai korban.
Dia berpendapat, Qanun Jinayat justru memberikan kekebalan hukum atau impunitas bagi pelaku tindak pidana. "Pelaku (pemerkosaan) dapat menyangkal tuduhan dengan sumpah. Setelah lima kali bersumpah, dapat terbebas dari tuduhan perkosaan. Pelaku dapat menuntut restitusi dari penuduh," ujar Soraya.
Hal senada juga diungkapkan Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Andy menilai, Qanun Jinayat menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurutnya, memidanakan tindakan sukarela dengan mengakui pidana yang tidak menimbulkan kerugian langsung pada pihak lain merupakan bukti melangggar konstitusi pasal 28 D ayat 1.
Sementara ihwal impunitas bagi pelaku kekerasan seksual, Andy berpendapat dalil tersebut melanggar UU Nomor 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Merujuk data Komnas Perempuan, pada tahun 2011 hingga 2012, terdapat 73,6 persen kekerasan yang dialami oleh perempuan di Aceh. Sementara, Jaringan Pemantau Aceh mencatat selama tahun 2011-2012, terdapat 96 kasus kekerasan yang terjadi dalam konteks penerapan syariah Islam. Sejumlah 83 kasus di antaranya dialami oleh perempuan. Kasus tersebut diantaranya adalah kasus khalwat (berdua-duaan). Selain itu, ada juga kasus dimana ada sebanyak 234 perempuan berusia 14 sampai 55 tahun, yang mengalami kekerasan dengan adanya razia-razia jilbab.
Sementara itu, data Komnas Perempuan menunjukkan bentuk kekerasan yang dialami dalam penerapan tindak pidana khalwat (berdua-duaan) adalah intimidasi, pemukulan, pengarakan, pelecehan seksual, direndam dan dimandikan dengan air parit, hingga dinikahkan secara paksa.