Jakarta, CNN Indonesia -- Pemberlakuan Peraturan Daerah Syariah Pidana Aceh (Qanun Jinayat) kepada warga non muslim dinilai oleh aktivis dan koalisi masyarakat sipil Aceh melanggar hak asasi manusia. Hal itu disampaikan oleh Ketua Balai Syariah Urueng Inong Aceh Soraya Kamaruzzamaan dalam Forum Kebangsaan Nasional di Jakarta, Rabu (5/11).
"Qanun Jinayat Aceh memiliki konsekuensi besar atas terjadinya konflik sosial yang rentan di masyarakat," katanya.
Soraya menyampaikan sebagian besar tindak pidana yang diatur dalam Qanun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang-Undang lain. Peraturan mengenai kewajiban warga non muslim di Aceh untuk melaksanakan perda syariah diatur dalam ketentuan pasal 5 huruf c Qanun Jinayat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan pasal tersebut, penerapan regulasi lokal akan diimplementasikan terhadap warga non muslim. Pasal tersebut berbunyi setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan jarimah (pidana) di Aceh bersama-sama dengan orang Islam, memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada hukum Jinayat. Sedangkan, tindak pidana yang dimaksud oleh Qanun tersebut antara lain perbuatan judi, berdua-duaan, mabuk, zina, berhubungan seksual beda jenis dan sesama jenis.
Warga non muslim yang tidak mau menerapkan beleid tersebut akan dikenakan hukuman seperti warga muslim lainnya.
Lebih jauh lagi, Soraya menilai pemberlakuan peraturan khusus seperti Qanun bisa menyebabkan pengabaian terhadap aturan hukum dari KUHP. Padahal, dia mengatakan kalau kekuatan hukum dalam Qanun Jinayat lebih rendah dari KUHP dan UU lainnya.
Menanggapi kritik tersebut, Asisten Bidang Pemerintahan Aceh Iskandar A Gani secara tegas mengatakan pemberlakuan Qanun hanya ditujukan untuk orang Islam.
"Warga non muslim tidak ada kewajiban untuk mengamalkan hukum syariah ketika berada di Aceh," kata Iskandar. Keterangan tersebut, ujarnya, merupakan pernyataan resmi Pemerintah Aceh mengenai ihwal perda syariah.
Hal itu berarti setiap orang non muslim yang melakukan tindak pidana di Aceh tidak akan dikenakan hukuman dalam Qanun Jinayat. Iskandar mengatakan warga non muslim hanya diminta melakukan penghormatan terhadap implementasi peraturan sesuai dengan pasal 126 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Iskandar mengutip pasal 5 huruf c di mana seorang warga non muslim bisa memilih untuk dikenakan sangsi sesuai Qanun Jinayat atau KUHP bila melakukan tindak pidana bersama warga muslim di Aceh.
"Hukum syariah tidak diberlakukan kepada warga non muslim. Sifatnya sukarela," kata dia menegaskan.
Sebelumnya, di penghujung masa purna tugas, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh) mengesahkan peraturan daerah Qanun Jinayat, Rabu (23/9). Qanun ini mendapatkan persetujuan secara aklamasi dalam Sidang Paripurna DPRA yang dihadiri oleh 22 dari 69 anggota parlemen Aceh. Politikus dari Fraksi Partai Aceh, Tgk. Muhammad Harun mengatakan persetujuan itu didasarkan atas pertimbangan hukum jinayat merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan sangat dinantikan oleh rakyat Aceh.
Qanun tersebut sempat diajukan DPRA pada 2009, pada periode kepemimpinan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Namun, saat itu Irwandi menolak untuk menyetujui Qanun tersebut. Pada tahun ini, setelah kepemimpinan Irwandi selesai, DPRA mencoba untuk membawa kembali rancangan Qanun untuk disahkan pemerintah Aceh. Qanun tersebut akhirnya ditandatangani oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah.