Jakarta, CNN Indonesia -- Kursi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang hingga kini belum dipilih oleh Presiden Joko Widodo, membuat organisasi yang konsen terhadap masalah Hak Asasi Manusia (HAM) meminta Jokowi untuk tidak memilih nama-nama yang terkait dengan masalah pelanggaran HAM, yang sudah menahun belum terselesaikan.
Beredarnya tiga nama kandidat Kepala BIN seperti Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, As'ad Said Alie dan Fachrurrazi, dinilai organisasi SETARA, sebagai nama-nama yang tidak layak dipilih sebagai Kepala BIN.
"Tidak penting militer atau sipil. Yang penting adalah dia mempunyai
track record yang bersih, karena BIN, sesuai peraturan negara, mempunyai cakupan yang sangat luas," kata Direktur Penelitian Setara, Ismail Hasani, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (4/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia juga menjelaskan, ketiga nama itu masih terkait dengan masalah-masalah yang belum selesai."Sjafrie Sjamsoeddin adalah Pangdam Jaya pada masa transisi dari Soeharto ke Habibie. Fachrurrazi terlibat DKP Prabowo Subianto. As'Ad Ali adalah wakil Hendropriyono pada saat kasus Munir," katanya.
Selain itu, ketua SETARA, Hendardi, juga berharap kepala BIN yang baru juga mempunyai kompetensi di luar bidang-bidang yang berkaitan dengan masalah fisik.
"Paradigma yang sering kali menyebut intelijen bersifat koersif dan fisik harus segera diubah," ujarnya. "Karena sekarang sudah semakin banyak tantangan baru bagi dunia militer. Contohnya
cyber crime."
Hingga kini, Marciano Norman masih menjabat sebagai Kepala BIN, sejak dilantik pada 19 Oktober 2011 silam. Kepala BIN akan berganti seiring dengan pergantian pemerintahan. Hal itu dikarenakan penunjukkannya merupakan hak prerogatif Presiden. Tugas BIN sendiri adalah melaksanakan kegiatan dan operasi intelijen di dalam dan laur negeri, melakukan kontra intelijen, serta operasi intelijen ekonomi maupun teknologi.