Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak pemerintah untuk membatalkan Peraturan Daerah Pidana Syariah Aceh (Qanun Jinayat).
"Bola ada di pemerintah pusat, Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan Perda seperti Qanun Jinayat. Seperti Qanun yang lain, kami sedang mengupayakan mekanisme pengujian dan evaluasi," kata komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam Forum Nasional Kebangsaan di Jakarta, Rabu (4/11).
Andy berpendapat, Qanun Jinayat bernuansa diskriminatif terhadap perempuan dan anak yang bertentangan dengan UU yang lain, seperti UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Anak, KUHP, UU HAM, dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami berharap negara juga jalan. Ini kewenangan mereka karena mereka yang membuat undang-undang. Kalau semua masyarakat sipil yang melakukan, apa peran negara?" ujar Andy.
Menanggapi desakan tersebut, Kepala Sub Bagian Hukum Kementerian Dalam Negeri Aditya Wijaya mengatakan pihaknya tidak memiliki kewenangan membatalkan peraturan. "Qanun hanya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Itu repotnya. Silahkan ke MA, kewenangan kami hanya menegur apabila ada yang bertentangan dengan peraturan lain," ujar Aditya ketika ditemui usai diskusi.
Pihaknya mengatakan akan membuka diri apabila ada masyarakat sipil yang memberikan masukan sebagai bentuk pengawasan terhadap peraturan tersebut. "Komnas dan masyarakat silakan beri masukan, nanti kami konsultasikan untuk mengubah. Mekanismenya harus rapat antar kementerian dan tidak sendirian, misal dengan Kemenkumham dan Kemenkes," ujarnya.
Meski demikian, Aditya belum dapat memastikan kapan hasil konsultasi akan diputuskan. "Lamanya putusan konsultasi belum dapat diputuskan," katanya. Hal yang menjadi penghambat adalah minimnya sumber daya manusia dan banyaknya permasalahan.
Senada dengan Aditya, Kepala Dinas Syariah Islam Aceh Syahrial Abbas mengatakan pemerintah tidak berwenang membatalkan peraturan tersebut. "Karena Qanunnya khusus, mekanisme kalau ingin direvisi adalah diajukan judicial review ke MA. Pemerintah Aceh akan melihat bagaimana hasil judicial review," ujar Syahrial ketika ditemui usai diskusi.
Merujuk pada pasal 235 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2006 soal Pemerintahan Aceh, pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan kepentingan umum, antar Qanun, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam UU tersebut.
Sebelumnya, di penghujung masa purna tugas, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh) mengesahkan peraturan daerah Qanun Jinayat, Rabu (23/9). Meski demikian, beragam polemik dan kontroversi mencuat. Mulai dari permasalahan prosedur penyusunan hingga substansi peraturan. Sebagian pihak menilai Qanun berpotensi melanggar HAM. Sementara sisanya mendalihkan MoU Helsinki yang mengistimewakan Aceh sebagai landasan hukum kemunculan Qanun.