Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan hak petani dalam Pasal 59 dan Pasal 70 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam Pasal 59, negara memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh lahan pertanian melalui hak sewa, izin penguasaan, izin pengelolaan, dan izin pemanfaatan.
"Mahkamah mengadili frasa "hak sewa" dalam pasal 59 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap," ujar hakim Ketua Persidangan Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu sore (4/11).
Menurut majelis hakim, pemberian hak milik lahan pertanian dari negara kepada rakyat dapat berpotensi disalahgunakan dengan mengalihkan fungsi kawasan pertanian menjadi kawasan non-pertanian. Dengan demikian, petani tidak bisa lagi menggarap lahan pertanian dengan bebas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Majelis berpendapat, tata cara sewa-menyewa lahan antara negara dengan petani melalui pemberian izin hak sewa mengingkari ruh UU Pokok Agraria. Praktik hukum demikian serupa dengan peraturan Hindia-Belanda yang sedianya telah ditinggalkan lantaran bersifat eksploitatif.
Majelis berpendirian bahwa negara bisa memberikan izin pengelolaan lahan tehadap lahan bebas yang belum terdistribusikan sebelumnya. Catatannya, negara tidak memungut biaya sewa dari rakyat.
Sementara itu, majelis mengatakan petani berkewajiban berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 ayat 1.
"Frasa 'berkewajiban' bertentangan UUD 1945," ujar hakim ketua. Pasal tersebut menegasikan semangat kebebasan berserikat dan berkumpul yang dilindungi dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945.
"Penguatan kelembagaan petani sangat perlu dilakukan negara untuk pemberdayaan petani, untuk itu negara bisa saja membentuk organisasi petani namun tidak diartikan negara mewajibkan petani masuk ke dalam lembaga tersebut," ujar hakim saat sidang.
Lembaga petani bentukan negara tersebut secara definitif dibatasi dalam Pasal 70 ayat 1 yakni Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional.
Menurut mahkamah, petani memiliki hak berserikat dengan membentuk lembaganya senidri untuk memperkuat dan memperjuangkan kepentingan petani itu sendiri.
Mahkamah secara tegas juga memutuskan, bantuan kepada para petani tidak boleh hanya mengikat pada lembaga petani bentukan negara atau para petani yang tergabung dalam lembaga tersebut. "Juga harus diberikan kepada kelembagaan yang dibentuk petani sendiri," kata majelis.
Hal tersebut tertuang dalam putusan mahkamah dalam yang mengharuskan pencantuman klausa keikutsertaan lembaga petani bentukan sendiri. "Pasal 70 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani'," kata hakim.
Untuk itu, penambahan klausa tersebut dalam Pasal 70 ayat 1 menjadi perlu untuk memberikan kepastian hukum.
Gugatan tersebut diajukan oleh 15 badan hukum privat di antaranya Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS).