Jakarta, CNN Indonesia -- Mujiasih kaget bukan buatan saat didatangi oleh seorang petugas kantor pos pada Sabtu (1/11) siang, pekan lalu. Nama ibu berusia 42 tahun itu dipanggil-panggil bersama delapan warga RT.06/RW.02 Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar lainnya.
Sembilan warga Gang Ceret kala itu diminta menemui seorang pegawai Kantor Pos yang sudah menunggu di mulut jalan.
Perempuan yang akrab disapa Mbak Muji oleh warga Gang Ceret itu menghampiri petugas pos dengan penuh tanya. Sebuah amplop diterimanya dari tangan tukang pos.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalam amplop, selembar undangan untuk hadir ke kantor pos pada Senin (3/11) disimak lekat-lekat oleh Muji. Surat berisi pemberitahuan akan menerima Kartu Keluarga Sejahtera itu, tak dipungkiri Muji, membuat dirinya tersenyum sesaat.
Dua hari lantas berselang, Muji pun mendatangi Kantor Pos Pasar Baru. Saat itu hari yang ditunggu, Senin pagi, Muji sudah tiba di kantor pos, bersama dengan ratusan orang lainnya. Ada dua hal yang membuat hatinya bersemangat hari itu.
Pertama, kemungkinan dia akan mendapat kesempatan bertemu langsung sang Presiden, sedang yang kedua, dia tahu akan mendapatkan sejumlah uang yang dapat digunakan untuk mengebulkan asap dapur rumahnya.
Usai menyaksikan prosesi peluncuran kartu sakti yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan mengantongi satu buah Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), empat Kartu Indonesia Sehat (KIS) beserta satu kartu perdana dari provider telekomunikasi ternama, Muji pun langsung menyambangi Bank Mandiri, tempat di mana dia dirujuk untuk melakukan pencairan dana subsidi dari pemerintah yang baru saja diterimanya, pada Senin siang.
“Waktu itu, kata petugas Bank ada Rp.400 ribu di dalam sim card. Tapi disaranin untuk enggak ambil semuanya,” kata Muji. “Ya sudah saya ambil Rp 300 ribu saja.”
Membawa pulang uang Rp 300 ribu adalah rezeki mendadak bagi Muji, yang diharap-harapkannya kala itu. Bagaimana tidak, awal pekan itu, dia bersama sang suami sedang memikirkan cara untuk mendapatkan uang Rp.150 ribu untuk kegiatan darma wisata anaknya, yang berusia 4 tahun.
“Buat anak ikut lomba Rp 150 ribu, sama jajannya paling Rp 50 ribu. Udah gitu, anak yang gede mau bikin seragam perpisahan minta Rp 70ribu, ditambah keperluan lain habis Rp 50 ribu,” ujar Muji.
Uang senilai Rp 300 ribu itu memang langsung lenyap sesampainya Muji di rumah. Rencana menggunakan uang tersebut untuk menghangatkan kembali dapurnya pun tak kesampaian.
Bagi wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh paruh waktu di rumah warga negara Mumbay di sekitaran Pasar Baru ini, uang tersebut ternyata tak berhasil menjadi uang yang dapat dinikmati bersama-sama. “Bukannya engak bersyukur. Yah, alhamdulillah,
sih,” katanya sambil tersenyum.
Pendapatan bulanan Muji sebagai buruh cuci-seterika dan sang suami yang bekerja sebagai tukang ojek memang terbilang pas-pasan. Kalau mengandalkan dari upahnya saja, Muji hanya mendapat Rp 500 ribu per bulan. Sedangkan, dari penghasilan suami, untuk satu harinya, minimal hanya Rp 100 ribu dibawanya pulang tiap malam.
“Suami saya ngojek dari sore sampai malam. Kalau belum dapat Rp 100 ribu, ya terpaksa ngojek sampai pagi,” katanya. Dia menceritakan, untuk mencari rezeki sebagai tukang ojek pun sang suami harus menyewa motor salah satu tetangganya. “Ya lumayan sih, nyewa Rp 100 ribu per bulan.”
Di lingkungan Gang Ceret sendiri dapat terlihat dengan jelas masih banyak warganya yang hidup dengan kondisi sama seperti Muji. Pemandangan pintu rumah yang saling berdekatan satu sama lain, dapat ditemukan dengan mudah di lingkungan ini.
Meski tampak ada banyak warga dengan strata kehidupan menengah ke bawah yang tinggal di lingkungan rumah Muji, namun ternyata tak semua warga di sana mendapatkan undangan pemberian kartu sakti Jokowi.
Anehnya, pemilihan siapa yang berhak menerima Kartu Keluarga Sejahtera pun tak dilakukan berdasarkan data yang diberikan oleh pengurus Rukun Tetangga setempat. Hal itu diungkapkan oleh Ria, 33, Bendahara RT.06/RW.02.
“Enggak ada. Di sini nggak pernah ada yang
ngedata. Dari zaman pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai), enggak ada yang
ngedata dari Kantor Pos. Nanya ke kami juga enggak,” ujar Ria.
Dia mengakui, hal tersebut menjadi proses yang sangat janggal. Menurutnya, tidak diadakannya survei kepala keluarga, sangatlah rentan membuat pemerintah tidak tepat sasaran dalam memberikan subsidi-subsidi.
“Kami enggak pernah tahu bagaimana kriteria pemilihan calon penerima subsidi-subsidi itu. Tahu-tahu petugas kantor pos datang saja ke sini. Kan kalau ada data dari kita, kita bisa kasih tahu siapa-siapa saja yang bisa dibantu,” ujar dia.
Muji memang harus menunggu 60 hari lagi untuk mendapatkan rezeki rutin sebesar Rp 400 ribu dari pemerintah. Sedangkan kini, Muji akan kembali melanjutkan rutinitas hariannya, bersama suami dan dua anaknya dalam sebuah rumah berukuran 2 x 10 meter, yang sudah belasan tahun ditempatinya. Ya, pada dua bulan mendatang, Muji akan mulai kembali mengecek saldo jatah keluarganya melalui sim card telepon yang diterimanya bersama KKS dan KIS.
Pembagian kartu sakti Jokowi memang ditargetkan untuk masyarakat seperti Muji. Sayangnya, program kartu itu hanya diterima oleh segelintir orang. Bahkan untuk warga yang tinggalnya sama-sama di pemukiman kelas bawah. Sisanya? Barangkali hanya bisa menunggu kabar baik dari kedatangan tukang pos yang lain.