Jakarta, CNN Indonesia -- Toleransi antar umat beragama di Indonesia semakin memprihatinkan. Penelitian yang dilakukan organisasi non-pemerintah Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika menunjukkan sebagian besar kasus kekerasan di Indonesia sejak masa reformasi sampai akhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono didominasi (SBY) oleh kasus yang berawal dari masalah agama.
Sudarto, Peneliti Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika menjelaskan dari 2.392 kasus kekerasan yang terjadi, sebanyak 65 persen atau 1554 kasus diantaranya berawal dari isu agama. "Itu menunjukkan tingkat intoleransi di Indonesia masih tinggi. Sampai hari ini di Jakarta saja masih hangat isu intoleransi agama dan etnis sebagaimana kita lihat di masalah penentuan Gubernur baru dan Lurah Susan belum lama ini," ujar Sudarto di Jakarta, Jumat (14/11) petang.
Isu kedua yang mudah menyulut tindakan kekerasan adalah perbedaan etnis, yang disebut Sudarto ada sebanyak 478 kasus atau 20 persen. "Sementara sisanya adalah kekerasan terhadap perempuan," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah Ibadah Jadi Korban
Indikator tingginya tingkat intoleransi kehidupan beragama lain yang bisa dengan mudah dilihat adalah kasus vandalisme terhadap rumah ibadah. Menurut penelitian yang dilakukan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, jumlah kasus vandalisme terhadap rumah ibadah juga terus meningkat setelah reformasi.
Di era orde lama, tercatat hanya dua kasus terjadi di seluruh Indonesia. Sementara pada masa orde baru, jumlah kasus meningkat sampai ke angka 450. Seolah belum cukup, angka ini kemudian terus meningkat melebihi angka 1.000 kasus di era reformasi.
"Pada era Gus Dur, ketika sedang panas masalah Poso dan Ambon, ada 1.000 rumah ibadah yang mengalami kasus ini. Pada era Habibie, ada 200-an kasus karena sedang banyak konflik akibat masa transisi. Sementara pada masa pemerintahan SBY ada 500-an kasus," ujar Sudarto.
Menanggapi banyaknya persoalan yang berawal dari perbedaan agama ini, Kementerian Agama (Kemenag) mengolah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang ditargetkan selesai tahun depan. RUU ini diharapkan akan menyelesaikan segala permasalahan keagamaan di ruang publik tanpa mengintervensi pandangan pribadi warga negara.
"RUU ini akan mengatur masalah-masalah seperti pembangunan rumah ibadah dan penyiaran agama yang berlangsung di ruang publik," kata Kepala Pusat Kerukunan Beragama Kemenag.
Kolom KTPIsu lain terkait keagamaan yang sedang hangat adalah isu mengenai kolom agama di Kartu Tanda Penduduk. Belum lama ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, para penganut agama kepercayaan yang tak termasuk 6 agama mayoritas bisa mengosongkan kolom agama. Sontak pernyataan ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak.
Menanggapi pernyataan ini Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menegaskan identitas agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari sehingga harus diketahui dan dicatat oleh negara. "Agama adalah identitas warga negara yang tidak bisa dihilangkan," kata Lukman.
Menanggapi isu ini, organisasi-organisasi pegiat HAM seperti Setara Institute dan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mengusulkan agar agama-agama minoritas di luar enam agama yang diakui di Indonesia dapat juga dicantumkan di KTP. Jika tidak, mereka menyarankan kolom agama untuk dihapuskan sama sekali.
"Itu bahaya jika dikosongkan. Karena dengan demikian bisa timbul stigma orang itu tidak beragama, yang bisa berujung ke ateisme dan komunisme. Makanya, harus diisi dengan agama masing-masing. Ada kepercayaan Sunda Wiwitan misalnya, Paneges. Kaharingan, dan lain-lain. Itu harus dicantumkan," Sudarto menambahkan.
Dia berharap, ke depannya KTP tidak usah lagi mencantumkan agama. Menurutnya, tidak banyak manfaat yang didapatkan dari pencantuman identitas agama di tanda pengenal.
"Bahkan kalau anda memasuki wilayah konflik seperti dulu di Poso dan Ambon, itu membahayakan nyawa karena KTP itu di-sweeping," ujarnya.
Secara resmi, Indonesia hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Di luar itu, masih banyak agama-agama minoritas yang belum diakui oleh negara. Selain bermasalah dalam identitas, penganut agama-agama minoritas juga mengalami banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari.