Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikamahanto Juwana menilai pemberian Kartu Identitas Penduduk (KTP) oleh pemerintah Malaysia kepada warga Indonesia di perbatasan kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, bukanlah sebuah masalah.
"Ada jaminan dari hukum internasional bahwa penduduk asli, karena mereka memiliki kekerabatan, tidak boleh dipisahkan berdasarkan garis teritori negara. Oleh karena itu, negara harus memberikan hak mereka untuk saling berhubungan," ujar Hikamahanto saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (17/11).
Lebih jauh, dia mengatakan, hak tersebut telah termaktub dalam pasal 36 ayat 1 Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 61/595 tahun 2007 tentang Deklarasi Hak Masyarakat Asli. Di sana dikatakan, masyarakat asli memiliki hak untuk menjaga dan mengontak hubungan kerja sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, ratusan warga di tiga desa dari Kecamatan Lumbis Ogong, yakni Desa Sumantipal, Sinapad dan Kinokod, yang menerima kartu identitas Malaysia pada pekan lalu, dipastikan telah dilindungi oleh hukum.
"Justru Indonesia dan Malaysia punya kewajiban (untuk melindungi)," kata lulusan master dari Universitas Keio, Jepang ini. Konsekuensinya, menurut Hikmahanto, warga dapat bepergian baik ke Indonesia maupun Malaysia tanpa harus menggunakan dokumen paspor.
Sementara itu, dia menampik adanya dugaan boikot teritori Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia di Nunukan jika warganya memiliki kartu identitas ganda.
"Jadi, kalau seratus persen di tiga desa mengatakan mau jadi warga negara Malaysia, desa akan didiami oleh warga negara asing. Tapi, jika seratus persen warga berubah menjadi warga negara asing, bukan berarti teritori berubah," ujar doktor Universitas Nottingham, Belanda ini.
Praktik LamaKasus sengketa perbatasan merupakan praktik lama yang sudah terjadi antara Indonesia dengan sejumlah negara tetangga. Modusnya pun terbilang beragam. Mulai dari sengketa identitas hingga wilayah, menjadi kasus yang digunakan sebagai alasan perebutan wilayah.
"Sebenernya ini sudah praktik lama. Pemerintah pusat enggak siap. Karenanya pemerintah pusat harus cepat. Ya ini seolah-olah ada eksodus. Padahal, yang namanya kekerabatan mungkin karena ada yang kawin, anggota yang lain pada datang semua, dan nanti juga malem balik lagi (ke rumahnya)," katanya.
Eksodus warga di daerah Kalimantan juga pernah terjadi pada tahun 1984 hingga 1985. Pada pemberitaan, dikatakan bahwa ratusan warga di desa Sinapad, Sinokot dan Simantipal berpindah ke Malaysia. Jumlahnya mencapai 620 orang yang terdiri dari 20 desa.
Sebagai tindakan antisipatif untuk mencegah memanasnya isu teritori, menurutnya, pemerintah Indonesia perlu berbicara dengan pemerintah Malaysia.
"Kedua negara bisa membuat aturan sehingga masyarakat asli bisa terus berkomunikasi tanpa yang satu negara curiga dengan negara yang lain; bahwa tindakan Malaysia adalah tindakan provokatif untuk memaksa penduduk asli (Indonesia) berpindah ke Malaysia," ujarnya.
Sementara itu, ihwal kasus tapal batas lainnya juga banyak terjadi. Seperti yang terjadi pada Oktober 2013, saat mencuatnya konflik antara Indonesia dengan Timor Leste. Pemantiknya, pemerintah Timor Leste membangun jalan yang melintas di wilayah Indonesia. Konflik antara warga Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste akhirnya tak dapat dibendung.
Begitupun yang terjadi pada perebutan wilayah Pulau Sipadan dan Ligitan. Pada sengketa tersebut, Malaysia memenangkan perebutan kedua wilayah. Kasus lainnya yakni wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu di Kalimantan Barat. Malaysia juga pernah mengklaim kawasan tersebut. Tidak hanya itu, kasus lain yang mengusik teritori dua negara juga terjadi pada saat reklamasi Pulau Nipa. Selama empat tahun sejak tahun 2004, penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura.