Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Ledia Hanifah Amaliah menilai fatwa aborsi yang dikeluarkan Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) penting. Dukungan aborsi bagi korban perkosaan, asalkan tetap memperhatikan kaidah medis, bisa membantu menjaga kejiwaan perempuan bersangkutan tetap stabil.
Ledia mengatakan aturan soal aborsi tersebut juga disinggung dalam Undang-Undang Perlindungan Perempuan dan Anak.
"Dalam UU tersebut aborsi diperbolehkan," kata Ledia saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (17/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, politisi dari Partai Keadilan Sejahtera ini menyambut baik fatwa aborsi yang dikeluarkan PBNU. Berdasarkan keputusan rapat Musyawarah Nasional PBNU di Semarang, Jawa Tengah, awal November lalu, PBNU memperbolehkan aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan yang menderita depresi luar biasa.
Terlebih, keputusan tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang pengecualian aborsi atas dasar indikasi darurat medis dan pemerkosaan.
Indikasi kedaruratan medis dalam PP tersebut adalah keadaan di mana kehamilan yang terjadi dapat mengancam nyawa juga kesehatan ibu dan janin serta berpotensi menyebabkan penyakit genetik berat atau cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki.
Perempuan yang diperkosa boleh melakukan aborsi asalkan tindakan disertai dengan surat keterangan dokter, penyidik, psikolog atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan.
Sementara itu, mengenai perbedaan keputusan antara PBNU dengan Muhammadiyah terkait fatwa aborsi, Ledia berharap agar tidak terlalu dipermasalahkan. Pasalnya, keputusan yang dikeluarkan ulama bisa ditaati bagi umat yang meyakininya.
DPR sendiri tidak akan terlalu ikut campur soal perbedaan keputusan dua organisasi Islam ini.
"Kami serahkan semua pada ulama, silahkan berpegang pada yang diyakini," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Syuriah PBNU Masdar Farid Mas'udi menyampaikan aborsi diperbolehkan bagi perempuan korban perkosaan yang menderita depresi luar biasa. Tak hanya itu, aborsi dihalalkan selama usia janin belum mencapai 40 hari setelah terjadinya pembuahan.
Keputusan fatwa PBNU tersebut tidak selaras dengan fatwa Muhammadiyah. Ketua Majelis Tarjih dan Tarjid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan pihaknya tetap menggunakan fatwa lama terkait kontroversi pengecualian larangan aborsi bagi perempuan korban perkosaan.
Fatwa tersebut menegaskan aborsi hanya boleh dilakukan untuk perempuan terancam darurat medis dan bukan korban perkosaan.
"Muhammadiyah belum melakukan perubahan fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) ataupun Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) yang lebih memberikan peluang atas aborsi non-medis," kata Syamsul.