Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis perempuan Siti Noor Laila menilai fatwa dukungan aborsi dari organisasi masyarakat (ormas) seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak cukup kuat.
Dia mengatakan dibutuhkan adanya payung hukum yang lebih pasti agar korban perkosaan tidak takut untuk melakukan aborsi. Payung hukum juga penting bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medis.
Sejauh ini, pemerintah mengatakan telah menyediakan payung hukum kuat bagi aborsi untuk korban perkosaan. Aturan tersebut hadir dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang pengecualian larangan aborsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siti menilai sayangnya aturan setingkat PP tersebut dinilai Siti belum cukup kuat. Pasalnya, undang-undang yang menurunkan PP tersebut yakni Undang-Undang Kesehatan Nomor 39 Tahun 2009 tidak spesifik mengatur soal aborsi bagi korban perkosaan tersebut.
Terlebih, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan bahwa aborsi adalah tindakan melanggar hukum.
"Harus ada jaminan hukum dan harus dibuka ruang untuk aborsi terkait PP itu," kata Siti saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (17/11).
PP nomor 61 tahun 2014 belum cukup kuat sebagai landasan hukum sehingga tenaga medis masih was-was untuk membantu korban perkosaan menggugurkan janinnya.
Oleh karena itu, Siti yang juga Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ini berharap ada revisi Undang-undang Kesehatan dan KUHP agar aborsi bagi tindak perkosaan punya payung hukum yang pasti.
Fatwa yang dikeluarkan oleh PBNU atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) dinilai Siti hanya sekadar penguat moral dan spritual bagi korban dan tenaga medis. Dengan adanya fatwa ini, tenaga medis dan perempuan korban perkosaan yang hendak mengaborsi janinnya, yakin bahwa apa yang dilakukannya bukan perbuatan dosa atau dilarang agama.
Siti kemudian menegaskan kalau aborsi bukan perkara moral spritual belaka. Namun, aborsi juga permasalahan hukum. PP nomor 61 tahun 2014 sedianya mengatur kesehatan reproduksi. Salah satu masalah reproduksi yang dihadapi perempuan adalah saat menjadi korban perkosaan.
PP ini, kata Siti, memberi peluang bagi perempuan untuk mengatasinya. Ada sebuah harapan bagi perempuan yang tidak siap mengandung untuk menggugurkan janin.
Melindungi Kesehatan ReproduksiPersoalan menggugurkan janin dalam kandung meskipun akibat perkosaan bukan keputusan mudah. Namun di sisi lain, meneruskan kehamilan tak diinginkan hingga melahirkan bayi juga membutuhkan langkah yang sangat berani.
"Bayangkan, sudah diperkosa, harus mengandung anak pelaku perkosaan," kata Siti. "Belum lagi mengobati tekanan kejiwaan sebagai korban perkosaan. "
Oleh karena itu, Siti berpendapat bagi mereka yang tidak kuat menanggung beban psikologis, aborsi bisa jadi pilihan.
Namun, aborsi tidak bisa serta merta dilakukan. Dia mengatakan ada tahapan-tahapan ketat yang harus dilalui. Dari mulai mendapat rekomendasi dokter, konsultasi psikolog hingga mendapatkan pendampingan.
"Itupun dengan syarat usia janin tidak lebih dari 40 hari," kata dia menjelaskan.
Lebih jauh lagi, dia menyampaikan adanya syarat yang harus dilalui membuktikan bahwa aturan yang dibuat bukan untuk melegalkan aborsi. Peraturan itu dibuat untuk menjaga kesehatan reproduksi perempuan.
"Dari penerbitan PP itu, belum ada data yang menyebutkan ada korban tindak perkosaan yang melakukan aborsi," ujar dia.