KEBEBASAN BERAGAMA

Jokowi Diminta Cabut UU Penodaan Agama

CNN Indonesia
Jumat, 21 Nov 2014 16:31 WIB
Lembaga penggiat isu hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengimbau Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut Undang-Undang Penodaan Agama.
(Ilustrasi). Lembaga penggiat isu hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengimbau Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut Undang-Undang Penodaan Agama yang dinilai opresif terhadap kehidupan kebebasan beragama di Indonesia. (AntaraFoto/AsepFathulrahman)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga penggiat isu hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengimbau Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut Undang-Undang Penodaan Agama.

UU tersebut dinilai telah mendorong kriminalisasi atas keyakinan dan agama minoritas serta mengancam kehidupan kebebasan beragama di Indonesia.

"Laporan Mengadili Keyakinan menunjukkan penghukuman penodaan agama menjulang tinggi selama satu dekade pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibanding pemerintahan sebelumnya," kata Direktur Riset Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International Rupert Abbott melalui pernyataan yang dikirim kepada CNN Indonesia, Jumat (21/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan Mengadili Keyakinan dikeluarkan oleh Amnesty International pada Jumat ini bertepatan dengan kunjungan organisasi tersebut ke Indonesia untuk bertemu dengan pejabat pemerintah Indonesia untuk mengangkat serangkaian keprihatinan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan pemerintahan yang baru.

Rupert mengatakan berdasarkan laporan tersebut jumlah para individu yang telah dipenjara oleh pemerintah semakin meningkat dengan penyebab yang acak, mulai dari sekadar bersiul ketika sembahyang, menaruh opini di halaman jejaring sosial Facebook ataupun menyatakan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.

"UU Penodaan Agama di Indonesia melawan hukum dan standar-standar hukum internasional. Oleh karena itu, mesti dicabut segera," dia menegaskan.

Rupert mengatakan pihaknya telah mendokumentasi lebih dari 100 individu yang telah dipenjara hanya akibat mengekspresikan keyakinan mereka secara damai. Beberapa bahkan dipidana dengan kurungan hingga lima tahun penjara.

"Mereka semua adalah tahanan nurani dan harus dibebaskan tanpa syarat," kata Rupert.

Rupert melanjutkan berdasarkan laporan Mengadili Keyakinan, hampir semua dari kasus-kasus penodaan agama terjadi pada tingkat pemerintahan lokal. Di tataran tersebut, aktor politik, kelompok Islam garis keras dan aparat keamanan berkerjasama untuk menyasar kelompok minoritas sebagai target opresi.

"Sebuah tuduhan atau rumor kadang-kadang sudah cukup membawa seseorang ke pengadilan atas tuduhan penodaan agama," ujar dia. "Bahkan, mereka sudah diserang terlebih dahulu sebelum diadili."

Pemidanaan, lanjutnya, seringkali dijadikan alasan sebagai dasar untuk menjaga ketertiban umum. Sayangnya, tindakan-tindakan bersifat teror dan pengancaman seperti itu tidak juga dihentikan oleh pemerintah Indonesia.

"Pemerintahan Indonesia era SBY telah gagal untuk mengakhiri praktik semacam ini," kata dia.

Digunakan untuk Menindas

Rupert mengatakan meskipun UU Penodaan Agama di Indonesia merupakan ketentuan hukum yang umum digunakan untuk mengadili orang-orang yang melakukan penodaan agama, UU tersebut telah menjadi produk hukum sejak 1965 dan merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, UU tersebut sangat jarang digunakan hingga meningkat di era SBY. Rupert mencontohkan kasus Tajul Muluk di mana seorang pemimpin Muslim Syiah dari Jawa Timur menjalani hukuman empat tahun penjara atas dalil penodaan atas agama.

Berdasarkan laporan Mengadili Keyakinan, pemimpin Muslim Sunni lokal menentang ajaran Tajul Muluk pada 2006 dan mengatakan ajaran tersebut menyimpang. Pada Desember 2011, massa menyerang ratusan warga Syiah dan menyebabkan mereka terusir dari rumah.

Sementara itu, pada Maret 2012, polisi lokal memulai kasus penodaan agama terhadap Tajul Muluk dan akhirnya dia dipenjara selama empat tahun.
 
Rupert menilai kasus tersebut merupakan gambaran yang jelas bagaimana kelompok minoritas di Indonesia menghadapi ancaman dan serangan dari banyak pihak berbeda.

"Undang-undang penodaan agama menambah iklim ketakutan dan memberikan kelompok garis keras alat untuk menindas kelompok minoritas," kata dia.

UU tersebut, ujarnya, juga telah menginspirasi sejumlah UU baru, yang ujung-ujungnya digunakan untuk melarang kebebasan beragama.

"UU ITE misalnya digunakan untuk menyasar orang-orang untuk konten yang dinilai menodai agama di jaringan media sosial," kata dia menjelaskan.

Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah Indonesia untuk memperkuat perlindungan bagi minoritas agama.

"Ruang yang menyempit bagi kebebasan beragama di Indonesia selama dekade terakhir ini sangat mengkhawatirkan. Pemerintah baru punya kesempatan untuk membalik situasi. Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan," ujar dia.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER