Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak revisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Revisi ini penting untuk dilakukan karena peradilan militer selama ini terbukti tak mampu menyelasaikan kasus-kasus kriminal yang melibatkan anggota TNI.
"Pengadilan Militer juga tidak menimbulkan efek jera kepada anggota TNI yang melanggar hukum." kata aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Alex Argo, Rabu (3/12) di Jakarta.
Peneliti Elsam, Wahyudi Djafar dalam kesempatan yang sama mengatakan, kekebalan hukum yang dimiliki anggota TNI semakin menjadi-jadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menguranginya, Djafar menilai pemerintah perlu melakukan revisi Undang-undang Peradilan Militer. Hasil revisi undang-unddang tersebut menurut Djafar harus bisa mengatur soal kekebalan hukum anggota TNI tersebut.
Revisi UU Peradilan Militer sendiri sebenarnya masuk ke dalam salah satu agenda pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Ini bisa ditemui dalam visi-misi pemerintahan Joko Widodo yang dikenal dengan sebutan nawacita.
Namun, hal ini belum tercantum dalam program kementerian Kabinet Kerja. Direktur Setara Institut Hendardi mengatakan, pada bulan pertama memerintah, kebijakan bidang hukum Jokowi tidak sesuai dengan semangat penegakan hukum.
Dia mencontohkan, pemberian pembebasan bersyarat pada Pollycarpus, terpidana pembunuh Munir beberapa hari lalu.
Lalu ada pula rencana pengajuan Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional dan Rahasia Negara dalam prolegnas 2014-2019.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menurut Hendardi masih menunggu realisasi janji Jokowi yang ada dalam nawacita. Terutama yang berkaitan dengan bidang keamanan. Salah satu bentuknya bisa dengan merevisi Undang-undang Peradilan Militer secepat mungkin.