Jakarta, CNN Indonesia -- Kematian lima remaja di Painia Timur, Papua, mendapat kecaman dari berbagai lembaga Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut mereka negara dinilai telah lalai lindungi warga Papua.
"Kealpaan kami, negara dan pemerintah tidak melindungi warga. Dengan itu, kami mengecam ketidakhadiran negara melindungi hak hidup masyarakat di sana. Ini tak bisa dibiarkan," kata Ketua Komnas HAM Hafid Abbas saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (11/12).
Padahal, kata Hafid, persoalan kekerasan dan penembakan warga sipil di Papua merupakan persoalan klasik yang sering terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan Komnas HAM tersebut bertentangan dengan apa yang diucapkan oleh Presiden Joko Widodo semasa kampanye. Saat itu, Jokowi berjanji untuk membuka akses Papua bagi internasional karena menilai Papua aman. "Kenapa tidak? Aman di Papua. Tak ada yang perlu disembunyikan," kata Jokowi pada Juni lalu.
Nyatanya, penembakan dan pembunuhan warga sipil di Papua sering terjadi akibat konflik berlarut-larut.
Berdasarkan data dari Komnas HAM Papua pada tahun 2014 ini beberapa kekerasan seperti diantaranya insiden di Pasar Youtefa (2/7) di mana lima orang mahasiswa tewas, peristiwa di Lani Jaya (28/07) di mana terjadi baku tembak antara aparat polisi dengan warga, dan penembakan Videlis Jhon Agapa di Trans Nabire Illaga (18/10).
Sementara itu, penembakan yang baru terjadi pada Senin (8/12) ini di Painai juga menewaskan lima orang remaja, yakni Simo Degei (18), Octianus Gobai (18), Alfius Youw (17), Yulian Yeimo (17), dan Abia. Tak hanya itu, belasan anak-anak di bawah umur terluka dan dirawat di rumah sakit.
Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Papua Theo Hesegem mengutuk penembakan tersebut. Dia mengatakan kekerasan terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan pelanggaran HAM karena bertentangan dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU no 26 tentang pengadilan HAM.
"Aparat keamanan mestinya memberikan perlindungan khusus bagi masyarakat sipil terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak agar tidak jadi sasaran kekerasan," kata dia kepada CNN Indonesia.
Sementara itu, Hafid mengatakan merujuk Pasal 28 I UUD 1945 ayat 4 kalau pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk segera mengusut duduk perkara peristiwa tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku penembakan.
"Menkopolhukam harus memimpin investigasi untuk mempertanggungjawabkan kepada bangsa Indonesia sebegai pemegang kedaulatan negara," ujar anggota Komnas HAM Natalius Pigai melalui pernyataan, Kamis malam (11/12).
Menurut Natalius, penembakan di Paniai merupakan kejahatan serius terhadap HAM yang didorong aspek kriminal murni dan niat. Alhasil, penyelesaiannya tidak bisa melalui adat lantaran bukan kasus antar etnis atau suku. "Penyelesaian secara hukum formal, baik disiplin, pidana dan juga kode etik," ujar Natalius.
Senada dengan Natalius, Hafid menambahkan, "Kalau dua belah pihak punya kekuatan bersenjata, itu bukan pelanggaran HAM tapi risiko karena mereka sebanding. Tapi kalau yang ditembak adalah anak tidak berdosa dan tidak membawa senjata, itu pelanggaran HAM."
Penembakan tersebut terjadi saat warga sipil Paniai melakukan aksi protes di depan kantor kepolisian lantaran Tim Khusus 753, menyerang anak berusia 12 tahun, Yulianus Yeimo. Tak terima diserang, pemuda sekitar lantas melempari personel dengan batu.
Sementara itu, Komnas HAM tengah mengirim tim investigasi untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Tim terdiri dari satu orang komisioner Komnas HAM, Otto Nur Abdullah dan tiga staf perwakilan Komnas HAM di Papua. Tim sudah bergerak mulai hari Jumat (11/12) ini untuk mengidentifikasi penyebab sekaligus memetakan aktor penembakan. Tim tambahan juga akan dikerahkan Senin pekan depan.
"Ini misi pencarian. Hasilnya itu yang akan kami sampaikan ke Presiden. Saya juga harus bertemu dengan TNI/Polri untuk menunjukkan realita di lapangan dan mereka harus mengurusnya," kata Hafid.