Jakarta, CNN Indonesia -- Komersialisasi kawasan hutan adat dinilai telah meminggirkan perempuan adat. Lebih jauh lagi, komersialisasi telah menyebabkan para perempuan adat kehilangan kemampuan mereka melakukan tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun.
Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan eksploitasi terhadap sumber daya alam di wilayah konsesi membuat masyarakat adat khususnya perempuan kesulitan menjalankan kehidupan mereka.
Fakta tersebut ditemukan dari dengar keterangan umum atau inkuiri dari para penyintas di tujuh wilayah seperti Palu di Sulawesi Tengah, Medan di Sumatera Utara, Pontianak di Kalimantan Barat, Lebak di Jawa Barat, Ambon di Maluku, dan Nusa Tenggara yang dilakukan dari Agustus hingga Oktober 2014 ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Inkuiri ini merupakan upaya melawan tradisi kolonialisme pemerintah dalam mengambil kebijakan," katanya ditemui di Aula Komisi Yudisial, Selasa (17/12).
Yuniyanti mengatakan melalui proses dengar keterangan umum, suara perempuan adat yang selama ini kerap terabaikan menjadi muncul ke permukaan.
"Proses dari bawah itu sangat penting. Melalui inkuiri ini, perempuan yang selama ini kerap tidak didengar suaranya, menjadi terlibat," katanya.
Berdasarkan data pengaduan yang diterima Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kasus pengambilan tanah adat merupakan jenis pengaduan terbanyak kedua pada 2012. Jumlah kasus konflik agraria ini mencapai 1.213 kasus.
"Dari kasus sengketa lahan ulayat masyarakat adat selalu menjadi korban. Sementara, aktor utama sengketa biasanya instansi pemerintah, korporasi dan bahkan aparat penegak hukum," ujar dia.
Kasus sengketa lahan ulayat tersebut, katanya, membuat perempuan adat kehilangan keterampilan mereka. Padahal, secara turun temurun perempuan adat memberdayakan diri mereka dengan meramu obat-obatan, kuliner hingga tradisi pemintalan dengan bahan baku berasal dari hutan.
Adanya pelanggaran HAM tersebut, katanya, bermuasal dari pola pikir pemerintah yang masih memandang masyarakat sebagai mahluk ekonomis dengan mengabaikan fakta ketidakterpisahan manusia dengan lingkungannya.
"Eksploitasi sumber daya alam membuat masyarakat adat kesulitan mendapatkan sumber makanan. Banyak dari mereka terpaksa meninggalkan sagu dan mengkonsumsi beras yang harganya tinggi," kata perempuan pendiri Koalisi Perempuan tersebut.
Selain menafikan keberadaan masyarakat adat, pemerintah juga kerap menyederhanakan fungsi dan keberadaan organisasi masyarakat adat.
"Akibatnya hak sipil politik masyarakat adat menjadi terganggu," ujar dia.
Komnas Perempuan berharap melalui proses dengar keterangan umum dari para penyintas maka kesadaran pemerintah akan meningkat.
"Kami berharap kebijakan mengenai masyarakat adat dapat berpindah ke rel yang tepat," ujar dia," terlebih sejak adanya keputusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat yang bukan Hutan Negara."