Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan menilai pentingnya pembentukan peradilan lingkungan di Indonesia. Pasalnya, Abetnego melihat persoalan lingkungan merupakan permasalahan kompleks laiknya tindak pidana khusus.
"Keterkaitan masalah lingkungan ini dengan banyak pihak, model pengambilan keputusan juga banyak pihak. Hierarki pengambilan keputusan panjang apakah pemilik, direktur, atau petugas lapangan?" ujar Abetnego ketika diwawancarai usai jumpa pers soal grasi aktivis agraria Eva Susanti Bande di kantornya, Jakarta, Minggu (21/12).
Menurutnya, tindak kriminal lingkungan yang dilakukan perusahaan kerap kali tidak menjerat petinggi perusahaan. "Faktanya, semua petugas lapangan yang ditangkap. Korporasi melindungi. Apakah keputusan hanya dilakukan oleh petugas? Rantai pengambilan keputusan adalah skenario kejahatan. Semua perusahaan harus taat hukum karena mereka badan usaha," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu modus kriminal yang dilakukan perusahaan yakni penebangan pohon. Kendati demikian, perusahaan mengklaim telah mengantongi izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). "Tapi bisa saja AMDAL bermasalah yang berdampak lingkungan ke masyarakat sekitar. Itu yang harus diingat," ucapnya.
Selain itu, Abetnego menuturkan selama ini peradilan lingkungan di Indonesia cenderung tebang pilih dan mendiskriminasi masyarakat lantaran sulitnya pembuktiannya di lapangan. "Yang sulit pembuktian (tindak kriminal lingkungan) kalau perusahaan beribu-ribu hektar, kalau masyarakat cuma misal dua hektar jadi mudah dibuktikan," katanya.
Seharusnya, menurut Abetnego, aparat penegak hukum melakukan dua pendekatan yang berbeda untuk mengusut kasus lingkungan. "Pendekatan rakyat dan perusahaan harus beda. Rakyat itu pendekatan pemberdayaan, agar melek hukum karena asumsinya mereka tidak tahu hukum. Kalau perusahaan, itu pendekatan hukum karena paham hukum," ujarnya.
Kendati demikian, saat ini aparat dinilai masih menggunakan pendekatan hukum baik ke masyarakat maupun perusahaan. Konsekuensinya, banyak masyatakat yang menebang pohon langsung dipidanakan. Hingga saat ini, Walhi mencatat sedikitnya 60 masyarakat diadili dalam kasus lingkungan tetapi tidak menyeret perusahaan yang bersengketa.
Kapasitas Penegak Hukum
Dalam pembentukan peradilan lingkungan juga diperlukan aparat penegak hukum yang memahami isu tersebut. "Dibutuhkan kepolisian, kejaksaan, penyidik pegawai negeri sipil, dan hakim yang memang kuat di unsur lingkungan ini," katanya.
Abetnego mencotohkan, kasus penebangan ilegal yang baru terungkap empat tahun pasca peristiwa. "Nah mungkin duit dari penjarahan kayu sudah berguna untuk sesuatu, perusahaan hanya bayar (denda atau jaminan) saja. Tapi kerusakan alam yang dihasilkan, itu seperti apa? Itu kewajiban perusahaan untuk melakukan rehabilitasi tergantung penuntut dan kepolisian," katanya.
Oleh karena itu, pemahaman lingkungan diperlukan agar lebih bijak dalam mengambil keputusan hukum. Pasalnya, dalam memutuskan kasus lingkungan, kerap kali pendekatan yang dilakukan menggunakan paham ekonomi.
"Bagaimana menghasilkan uang. Padahal hutan dirusak bukan hanya kayu yang hilang, tapi fungsi layanan alam bermasalah. Air juga. Jadi mereka (penegak hukum) tidak hanya mempermasalahkan berapa yang diambil tapi juga berapa banyak (pohon) yang harus ditaman untuk rehabilitasi," ujarnya.