Jakarta, CNN Indonesia -- Sepanjang 2014 ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 40 kasus kekerasan yang dialami jurnalis Indonesia. AJI juga mencatat setidaknya ada enam kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis, yang belum ada satu pun kasus yang diadili dengan Undang-Undang Pokok Pers.
Kasus tersebut terjadi di Surabaya, Jayapura, Medan, Makassar, dan Jakarta. "Kasus terakhir terjadi di Makassar, kami mencatat ada sepuluh jurnalis menjadi korban kekerasan. Akhirnya empat orang di antaranya melapor ke kepolisian. Namun, sampai saat ini, masih ada pembiaran dari kepolisian," kata Ketua Umum AJI Suwarjono saat konferensi pers di kantor AJI, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).
Pada tahun sebelumnya, AJI juga mencatat ada 40 kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Namun, untuk tahun ini, AJI menilai, kasusnya jauh lebih serius dibandingkan 2013. "Kasus yang seharusnya ditangani Dewan Pers, kali ini ditangani polisi dengan KUHP," kata Suwarjono.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
AJI mencontohkan penetapan tersangka penistaan agama atas Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat karena aktivitas jurnalisme yang dilakukan harian berbahasa Inggris ini. AJI menilai tindakan ini merupakan bentuk penolakan polisi atas putusan Dewan Pers yang sudah "menghukum" The Jakarta Post untuk meminta maaf dan melakukan koreksi.
"Bila diteruskan, polisi akan membungkam kebebasan pers. Begitu kasus ini lolos ke pengadilan misalnya, masyarakat akan berbondong-bondong melaporkan pemberitaan, entah itu dianggap penistaan agama atau pencemaran nama baik. Ini bisa menjerat semua pemimpin redaksi dan media," kata Suwarjono menambahkan.
Selain kasus kekerasan, AJI juga menyayangkan tidak adanya pengusutan terhadap kasus jurnalis yang meninggal karena pemberitaan. "Ada delapan kasus kematian wartawan karena pemberitaan yang sampai ini belum diusut pelakunya sejak tahun 1996. Sudah 18 tahun kematian Udin, wartawan Yogyakarta yang terbunuh," katanya.