Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kritik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu disampaikan. Terutama karena selama 11 tahun berkiprah dalam pemberantasan korupsi, KPK belum menyentuh empat hal penting.
"Saya tidak tahu mengapa empat poin krusial ini terabaikan. Mungkin KPK terlalu sibuk sehingga lupa untuk lebih gahar," kata Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (29/12).
Pertama, mengusut pelaku korupsi dari korporasi. Subjek korupsi menurut Undang-Undang Korupsi tidak hanya orang namun juga korporasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kejahatan korupsi oleh korporasi setidaknya dapat dilihat dari kasus korupsi kehutanan di Riau yang melibatkan bekas Gubernur Riau Rusli Zainal dkk. Terdapat 14 perusahaan yang diuntungkan dari penerbitan izin kehutanan dari kepala daerah di Provinsi Riau saat itu.
Kedua, korupsi di sektor pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutista) yang melibatkan pelaku dari kalangan militer. Sudah ada beberapa laporan dugaan korupsi pengadaan di sektor pertahanan yang disampaikan kepada KPK seperti pengadaan pesawat Sukhoi dan tank Scorpio.
Namun belum ada satu kasus pun yang diproses secara hukum. Alasannya, KPK tidak memiliki kewenangan dan melimpahkan kasus tersebut kepada Polisi Militer.
Ketiga, korupsi di sektor pengeluaran keuangan negara. Dalam catatan ICW, KPK sudah mulai menjerat praktik korupsi di sektor penerimaan negara seperti pajak, bea cukai, minyak dan gas, serta sumber daya alam.
Tetapi KPK belum fokus pada sektor pengeluaran negara. Indikator sederhana yang dapat dilihat yaitu belum ada satu pun kasus korupsi di Kementrian Pekerjaan Umum yang saat ini dijerat KPK. Padahal, pada setiap anggaran besar yang dikeluarkan pemerintah, perlu dilihat potensi korupsi yang mungkin terjadi.
Keempat, pengusutan pelaku pasif pencucian uang yang berasal dari korupsi. Meski KPK telah membuat terobosan dengan menjerat pelaku korupsi secara berlapis dengan regulasi antikorupsi dan anti pencucian uang, namun pelaku yang dijerat selama ini adalah pelaku aktif.
Pelaku aktif dimaksud adalah pelaku korupsi yang melakukan upaya pencucian uang. Seperti bekas Anggota DPR Wa Ode Nurhayati, bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, dan bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Untuk pelaku pasif atau yang menerima duit hasil praktik cuci duit dari korupsi belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Isteri Djoko Susilo, Akil Mochtar, dan Luthfi Hasan, menurut ICW, seharusnya dapat dijerat sebagai pelaku pasif dan dikenai Pasal 5 UU Pencucian Uang dengan ancaman maksimal lima tahun.