PENCARIAN PESAWAT

Pilot Garuda: Hindari Awan Badai Cukup ke Kanan atau Kiri

CNN Indonesia
Selasa, 30 Des 2014 07:42 WIB
Permintaan pilot QZ8501 naik ketinggian dianggap ATC bukan untuk hindari kumulonimbus, tapi masuk jalur economic level. Makin rendah, makin boros bahan bakar.
Prakiraan kondisi cuaca dalam rangka pencarian pesawat AirAsia QZ8501 di Kantor BMKG. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Zamosir)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak dengan Air Traffic Controller Bandara Soekarno-Hatta setelah minta naik ketinggian dari 32 ribu kaki ke 38 ribu kaki. Sang pilot, Kapten Irianto, saat itu tidak memberitahu petugas ATC apa alasan dia meminta naik ketinggian hingga 6 ribu kaki.

Namun sesaat sebelumnya ketika Kapten Irianto meminta manuver ke arah kiri sejauh tujuh mil, ia menyebut cuaca sedang buruk. “Saat meminta bergeser ke kiri, dia mengatakan akibat cuaca buruk,” kata Direktur Safety and Standard AirNav Indonesia, Wisnu Darjono.

Saat itu awan badai kumulonimbus memang menjulang 52 ribu kaki, menghadang delapan pesawat sekaligus yang melintas di tiga jalur bersilangan di atas perairan antara Tanjung Pandan dan Pontianak. (Baca: Awan Badai Hadang 8 Pesawat, QZ8501 dan Garuda Terbang Rendah)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Permintaan Kapten Irianto untuk menaikkan ketinggian pesawat yang diasumsikan guna menghindari awan kumulonimbus, diragukan oleh AirNav dan pilot Garuda Indonesia. Menurut mereka, umumnya pesawat menghindari kumulonimbus tidak dengan meminta naik atau turun ketinggian.

“Tidak mungkin naik atau turun karena banyak traffic. Lazimnya dengan melakukan manuver ke kiri atau ke kanan,” kata pilot Garuda Indonesia, Abdul Rozaq, di Kantor Otoritas Bandara Wilayah 1 Soekarno-Hatta, Senin malam (29/12).

Secara terpisah, Wisnu mengatakan Kapten Irianto memang sudah meminta izin ATC untuk menggeser pesawatnya, dan izin pun telah diberikan. Itu sebelum dia meminta untuk menaikkan ketinggian pesawat.

“Saat itu dia mengatakan ada awan yang menghalangi, jadi minta geser ke kiri. Saat itu pula kami langsung persilakan dia bergeser sejauh tujuh mil,” ujar Wisnu.

Selanjutnya ketika Kapten Irianto meminta menaikkan ketinggian pesawat tanpa menyebutkan alasannya, petugas ATC pun tidak bertanya lebih lanjut. Permintaan naik ketinggian dianggap wajar untuk masuk ke jalur economic level.

“(Permintaan menambah ketinggian) itu normal. Biasanya pilot minta terbang lebih tinggi mendekati economic level. Itu ketinggian paling ekonomis bahan bakar. Setiap seribu kaki lebih rendah dari economic level, bahan bakar bertambah dua persen. Jadi semakin rendah terbang, semakin boros bahan bakar,” kata Wisnu.

Oleh sebab itu ATC dan Airnav menganggap tak ada yang salah dengan permintaan Kapten Irianto untuk menaikkan ketinggian pesawat. Namun permintaan tersebut tak langsung dikabulkan karena ATC harus mengecek lebih dulu lalu-lintas udara di sekitar AirAsia QZ8501. Saat itu ATC meminta QZ8501 untuk standby dulu pada posisinya sambil menunggu jawaban.

Barulah dua menit setelah Kapten Irianto meminta izin untuk menaikkan ketinggian pesawat ke 38 ribu kaki, pukul 06.12 WIB, Minggu (28/12), ATC menjawab. QZ8501 diizinkan naik, namun ke 34 ribu kaki, bukan 38 ribu kaki seperti yang diminta. (Baca AirNav: Kalau Diizinkan Naik Lebih Jauh, AirAsia Bisa Tabrak Garuda)

Sayangnya saat itu komunikasi terputus. QZ8501 tak bisa dikontak. ATC segera minta tolong kepada pesawat AirAsia lain yang terbang tepat di atas QZ8501, QZ550, untuk mengontak rekan mereka. Namun empat menit kemudian, pukul 06.18 WIB, QZ8501 malah menghilang dari radar dan belum ditemukan sampai saat ini, Selasa (30/12).
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER