Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar mencuat dalam seleksi wawancara tahap II calon hakim MK, hari ini. Panitia seleksi Widodo Ekatjahjana menanyakan soal langkah antisipatif untuk memperbaiki adanya celah korupsi di kalangan penegak hukum.
"Celah mana yang perlu diperbaiki agar kasus Akil tidak terulang?" tanya Widodo kepada salah satu calon hakim MK, I Dewa Gede Palguna, dalam seleksi wawancara di Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (30/12).
Menanggapi pertanyaan tersebut, Palguna berpendapat perlu adanya penyelesaian perkara sengketa oleh panel hakim MK yang terdiri dari sembilan orang. "Kalau diperiksa sembilan hakim, semua (hakim) akan
well informed dan melihat kalau konklusi berbeda dari pertimbangan, akan tampak. Itu mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi," ujar mantan Hakim Konstitusi periode 2003-2008 tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, dia menuturkan, penyelesaian perkara sengketa Pilkada di MK hanya dibahas oleh tiga hakim, alih-alih sembilan hakim. Pertimbangan efisiensi waktu menjadi isu utama lantaran banyaknya perkara sengketa yang ditangani MK. Banyaknya perkara yang masuk menyebabkan para hakim kewalahan. "Yang membuat rumit karena sengketa banyak," katanya.
Dengan demikian, kata Palguna, mekanisme jalur cepat melalui pembahasan oleh tiga hakim menjadi pilihan. Ketiga hakim tersebut akan menilai dan memantau proses verifikasi data dan menyodorkan beragam pertimbangan kepada pleno.
Apabila tak mengetahui detil data, menurutnya, enam hakim lain yang tak mengikuti proses sejak awal, akan kesulitan mengajukan
dissenting opinion. Kemudian, mereka cenderung menyetujui pertimbangan tersebut dan merangkumnya dalam putusan.
Merujuk UU Pemilu, sengketa Pemilu Legislatif harus diputuskan oleh MK dalam tempo maksimal 30 hari. Sementara Pemilu Presiden, diputus dalam waktu 14 hari kerja.
Padahal, menurut dosen Universitas Udayana tersebut, sengketa Pilkada merupakan perkara yang paling mudah ditangani. "Ada pihak yang mendalilkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) salah menghitung. Tinggal dilihat berapa warga yang punya hak pilih, berapa yang menggunakannya, berapa suara yang sah, itu yang kita hitung," ujarnya.
Data tersebut kemudian disandingkan dengan dalil penggugat dengan penghitungan KPU. Setelah itu, akan terlihat pihak mana yang melakukan penipuan. "Kalau caranya seperti itu, tidak ada ruang buat hakim melakukan korupsi," katanya.
Dalam kasus Akil, dia terbukti menerima suap dalam sengketa Pilkada Wali Kota Palembang Romi Herton dan Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang. Dalam guagatan yang diajukan, Akil memenangkan kedua tokoh tersebut dalam sengketa Pilkada.