SELEKSI HAKIM MK

Calon Hakim MK Sorot Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

CNN Indonesia
Rabu, 31 Des 2014 04:06 WIB
Proses penyelesaian pelanggaran HAM berat terhambat karena banyak kepentingan politik yang menginterupsi penyelesaian kasus.
Anggota Tim Panitia Seleksi Hakim Konstitusi Todung Mulya Lubis (kiri) mewawancarai calon hakim konstitusi Aidul Fitriciada Azhari (tengah) disaksikan anggota tim panitia seleksi lainnya Harjono (kanan) pada wawancara tahap II seleksi calon hakim konstitusi di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (30/12). Empat calon hakim konstitusi lainnya yang menjalani seleksi wawancara tahap II yakni I Dewa Gede Palguna, Imam Anshori Saleh, Yuliandri, dan Indra Perwira. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Jakarta, CNN Indonesia -- Calon hakim Mahkamah Konstitusi, Aidul Fitriaciada Azhari, menyoroti penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu. Sejumlah pelanggaran HAM tersebut antara lain peristiwa Gerakan 30 September, Malari, Talangsari dan Trisakti. 

Aidul berpendapat, penyelesaian tersebut kini terhambat oleh proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Problemnya UU Pengadilan HAM harus melalui DPR. Proses poltik yang harus diselesaikan. Kalau DPR tidak merekomendasikan, tidak bisa dibentuk lembaga," ujarnya dalam seleksi wawancata tahap II calon hakim MK, di Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (30/12).

Rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dari DPR menurutnya merupakan prosedur yang harus dilewati. "Karena pelanggaran masa lalu melanggar asas legalitas dan melanggar HAM. Pada saat itu, penyelesaian harus minta izin pada rakyat yang dilanggar haknya. DPR menjadi representatif rakyat," kata dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih jauh, proses semakin terhambat lantaran adanya kepentingan politik untuk menentukan penyelesaian kasus tertentu dari pada kasus yang lain. "Mana yang diangkat dan yang mana didahulukan," katanya.

Sementara itu, Aidul mengusulkan adanya mekanisme penyelesaian lain melalui UU Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (UU KKR). "UU KKR yang dibatalkan MK, harus dibangun lagi," ujarnya.

Saat ini, pemerintah telah meminta DPR untuk memasukkan pembahasan RUU KKR dalam program kumulatif terbuka. Sebelumnya, UU KKR dimatikan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2011. MK memutuskan Pasal 27 undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Kini, pemerintah berupaya menghidupkan kembali undang-undang tersebut.

Kedekatan Politik

Aidul disebut dekat dengan sejumlah tokoh elit yang diduga menjadi dalang dalam pelanggaran HAM berat, di antaranya Jenderal Purn. Wiranto dan Jenderal Purn. AM Hendropriyono. Kendati demikian, dia menampik kedekatan tersebut menjadi penghambat sikapnya dalam penuntasan HAM berat.

"Itu tidak masalah. Persahabatan tidak bisa diputus. Saya juga berhubungan dengan yang lain, seperti tokoh politik Demokrat, Anas Urbaningrum," ujarnya.

Selain itu, dirinya juga mengklaim dekat dengan elit partai politik lain. Salah satunya yakni tokoh Partai Golkar, Akbar Tandjung.

"Dengan PAN (Partai Amanat Nasional), saya juga dekat jarena di situ banyak orang Muhammadiyah," katanya santai.

Sementara itu, sejumlah aktivis menyebut problem politik penuntasan pelanggaran HAM berat terjadi lantaran adanya kedekatan elit pemerintah maupun penegak hukum dengan dalang intelektual. Hal tersebt diamini Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Chris Biantoro. Dia menilai adanya disharmonisasi antara Komnas HAM, kejaksaan dan pihak kepolisian dalam penanganan sejumlah kasus.

"Jokowi harus terjun langsung membuat tim rekonsiliasi yang anggotanya terdiri dari tim kepolisian, Kejaksaan Agung, dan unsur Kementerian Hukum dan HAM," ujar Chris usai diskusi catatan akhir tahun bertajuk 'HAM Hari Ini Siapa Bertanggungjawab?' di Cikini, Jakarta, Minggu (14/12).
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER