Surabaya, CNN Indonesia -- Tak ada tragedi yang bisa dengan cepat bisa diterima begitu saja oleh pihak keluarga korban. Pun dalam peristiwa nahas AirAsia QZ8501 yang jatuh di Teluk Kumai, Selat Karimata, Kalimantan Tengah, 28 Desember 2014.
Rasa pilu menahan kesedihan terlihat dari salah satu keluarga korban, yang keluar dari tenda tunggu keluarga yang disediakan Polda Jatim di pelataran markasnya. Menggandeng sepasang anak yang ia tuntun di kedua tangannya, kedua bocah itu tampak heran mengapa orang-orang ingin bertanya kepada mereka.
162 manifest pesawat terdiri dari pilot, kru kabin, dan penumpang, ditakdirkan mengakhiri hari pada Ahad pagi saat itu menuju penerbangan ke tempat "lebih tinggi". Namun, penantian keajaiban tetap menjadi asa terpendam bagi keluarga agar mereka kembali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari ke-9, 37 jenazah telah dievakuasi, 13 di antaranya teridentifikasi dan diterima keluarga tercinta. Dikejar waktu, tim penyelamat diinstruksikan tetap melakukan pencarian kepada seluruh korban, itu berarti 125 orang tersisa.
Armada dan segala upaya dikerahkan, negara-negara sahabat pun turut membantu. Rusia mengerahkan pesawat berkemampuan amfibi, Malaysia menurunkan kapal perang. Indonesia mengerahkan seluruh kekuatannya demi operasi kemanusiaan ini, yang diharapkan dapat mengurangi rasa sedih keluarga, setidaknya.
"Perasaan was-was keluarga masih dalam penantian, itu yang paling sulit disembuhkan," kata psikiater pendamping keluarga korban Hendro Riyatmo di Crisis Centre Markas Polda Jawa Timur, Senin (5/1), kepada CNN Indonesia.
Pertanyaan akan muncul dibenak keluarga, "betulkah ini keluarga saya" meskipun telah berupa jenazah. Romantisme keluarga akan terus terbangun hingga berbulan-bulan, bahkan proses hingga mereka bisa menerima kepergian para korban tidak bisa ditentukan.
Hendro mengatakan proses pemulihan bagi pihak keluarga bukan perkara mudah hingga level mereka bisa menerima kenyataan. "Bahkan hingga korban disemayamkan," tuturnya.
Menurut Hendro penantian panjang akan terus menjadi asa keluarga korban saat tidak semua korban bisa ditemukan. Secara psikologis, kematian di laut jauh lebih berat beban yang harus ditanggung pihak keluarga dibanding bila korban berada di daratan.
Jasad yang tidak pernah terlihat kasat mata, tidak adanya kesempatan memberikan penghormatan terakhir dan doa secara langsung jadi beban terberat keluarga dan kerabat.
"Itu sangat menyedihkan, jika jenazah tidak ketemu sangat sulit. Kita akan dampingi terus keluarga selama diminta," ungkap Hendro.
Melihat kepiluan keluarga, Panglima TNI Jenderal Moeldoko mencoba memberikan upaya setidaknya mengurangi kesedihan keluarga dengan membawa pihak keluarga ke titik utama pencarian di laut lepas Pangkalan Bun. Para keluarga korban difasilitasi dengan menggunakan pesawat Hercules dan CN 295 dari Surabaya, yang kemudian diangkut KRI Banda Aceh untuk mengarungi gelombang Karimata. Di tempat ini lah akan dilakukan tabur bunga.
(obs)