Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Agung menyambut baik ajakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Tedjo Edhy Purdijatno untuk membahas polemik Peninjauan Kembali (PK). Juru bicara MA Suhadi menuturkan MA terbuka terhadap lembaga lain yang ingin bertemu dan berdiskusi.
Menurutnya, ajakan Tedjo itu adalah sebuah inisiatif yang baik. Apalagi diskusi ini bukan yang pertama kali dilakukan MA dengan Kemenpolhukam.
"Sebelum akhir tahun kami pernah rapat mengenai hukuman mati di Kemenkopolhukam. Waktu itu membicarakan berapa hukuman mati yang akan dilakukan kejaksaaan," kata Suhadi Gedung MA, Jakarta, Rabu (7/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain MA, Tedjo juga menyatakan akan mengajak Mahkamah Konstitusi (MK), Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta beberapa ahli hukum untuk membahas polemik pengajuan Peninjauan Kembali (PK).
"Ayo kita bicara semua. Jangan nanti sudah kita putuskan, masih ada yang ngomong dari luar," kata Tedjo di Istana Negara kemarin. Kendati demikian, Tedjo belum dapat memastikan waktu dan tempat pertemuan tersebut akan digelar.
Tedjo mengakui, polemik PK tak selesai saat MA mengeluarkan Surat Edaran MA Nomor 7 tahun 2014. Dalam surat edaran tersebut, Ketua MA Hatta Ali meminta ketua pengadilan tinggi dan pengadilan negeri di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK kedua kalinya ke MA.
Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kasus pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 tahun 2009.
MA berpendapat, pada pasal 24 ayat 2 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 Undang-undang Nomor 3 tahun 2009 tentang MA masih berlaku. Dua undang-undanng ini mengatur pembatasan PK hanya satu kali.
"Ada yang mengatakan Surat Edaran ini tak punya kekuatan hukum, Beberapa ahli hukum akan kami kumpulkan," ujar Tedjo.
Sejumlah pihak menilai Surat Edaran MA bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK mengizinkan PK lebih dari satu kali. Lantas, baik terpidana maupun ahli warisnya dapat mengajukan PK atas PK.
MK membatalkan pasal 268 tersebut berdasarkan gugatan bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Antasari adalah terpidana kasus pembunuhan berencana pada tahun 2009. Antasari terbukti turut serta dalam pembunuhan Direktur PT Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen di Kota Tangerang, Banten.
(sur)