Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik Peninjauan Kembali (PK) telah memaksa Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly menggelar pertemuan dengan seluruh lembaga hukum. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) akhir tahun 2014 dinilai bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibuat Maret 2014.
Komisi Pemberantasan Korupsi menilai, pengajuan PK sebaiknya dilakukan satu kali saja. Selain faktor efisiensi, ketetapan hukum melalui PK merupakan ketegasan hukum yang tidak bisa ditawar.
"PK cukup satu kali saja. Biasa lah, yang ingin lebih dari satu kali itu banyak akal-akalannya," kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain, Jumat (9/1).
Menurut Zul, pengajuan PK berulang biasanya dijadikan sebagai kilah untuk mengulur waktu dalam eksekusi sebuah hukuman pidana. Tak jarang pula ketika PK kembali diajukan, sama sekali tidak ada novum alias bukti baru yang mendukung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan begitu, perkara jadi berlarut-larut. PK lebih dari satu kali punya risiko tinggi dan dapat merugikan negara," ujarnya.
Zul tidak menampik alasan PK lebih dari satu kali bisa dilihat dari berbagai persfektif. Namun dari praktik hukum pidana, satu kali PK saja sudah cukup mewadahi hak semua pihak.
"Keadilan dan kepastian hukum semua pihak jelas lebih seimbang dengan PK satu kali," kata Zul.
Jumat siang (9/1), Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengagendakan pertemuan dengan MA, MK, Kejaksaan Agung, dan KPK untuk membahas polemik PK. Pro kontral soal pengajuan PK dimulai ketika MK melalui putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK mengizinkan PK lebih dari satu kali.
Putusan tersebut dijawab MA dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 7 tahun 2014 yang ditandatangani pada 31 Desember 2014 yang membatasi PK hanya satu kali, kecuali jika di antara putusan pengadilan tingkat pertama, banding, maupun kasasi ada perbedaan.
Selain edaran MA, hukum positif yang berlaku di Indonesia juga mengatur bahwa PK hanya boleh dilakukan satu kali. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA.
(rdk/sip)