Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 soal permohonan pengujian Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menyatakan terpidana kasus tindak pidana dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) berkali-kali. Putusan tersebut hanya memberikan ruang kepada terpidana untuk mengajukan fakta baru yang belum pernah dikeluarkan pada persidangan sebelumnya.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tersebut menjelaskan, kebenaran materiil dalam hukum pidana memang tidak dapat dibatasi. "Bayangkan, saat akan diesksekusi ternyata ada fakta baru yang belum pernah dipertimbangkan hakim sebelumnya," ujar Jimly di Jakarta, Sabtu (10/1).
Putusan MK yang menanggapi permohonan
judicial review dari bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar itu belakangan memicu perdebatan. Perdebatan makin hangat tatkala Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2014 yang mengatur PK perkara pidana hanya dapat dilakukan satu kali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada pertemuan antara MK, MA, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang dihadiri Jimly, Jumat (9/1), muncul kesepahaman bahwa putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 harus diejawantahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Jimly mengatkaan, idealnya hal itu diselipkan pada Rancangan KUHAP yang pembahasannya saat ini masih madek di DPR.
Namun agar persoalan ini tak berlarut-larut, para penegak hukum sepakat melegalkan dalam bentuk peraturan pemerintah. "Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, PP boleh dibuat tanpa perintah UU, asalkan ada kebutuhan. Saat ini kondisinya putusan MK soal PK membutuhkan regulasi pelaksana dengan segera," ujar Jimly.
Tanpa aturan pelaksana, putusan MK memang rawan diselewengkan. Jimly menyatakan, para terpidana mati perkara narkotika dapat memanfaatkan hal ini untuk menunda eksekusi.
Kini enam terpidana mati sedang menanti eksekusi Kejaksaan Agung. Mereka adalah Agus Hadi, Pujo Lestari, Gunawan Santoso, Tan Joni, Namaona Denis, dan Marco Archer Cardoso. Eksekusi mati dua nama pertama tertunda karena pekan ini mereka menjalani sidang PK di Pengadilan Negeri Batam.
Jimly menuturkan, putusan MK bukan penghalang eksekusi mati. Pertemuan Jumat lalu (9/1) memutuskan, terpidana mati pada perkara tindak narkotika yang putusan hukumnya sudah tetap dan grasinya ditolak presiden akan masuk prioritas eksekusi.
(rdk)