EKSEKUSI TERPIDANA MATI

Siksaan Saat Hidup Dinilai Lebih Baik Ketimbang Dihukum Mati

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Selasa, 20 Jan 2015 08:26 WIB
Lembaga Imparsial menilai hukuman seumur hidup lebih manusiawi dari penerapan eksekusi mati atas terpidana.
Perwakilan Komnas HAM, Imparsial, KontraS, Human Rights Working Group, LBH Masyarakat, PBHI, dan Human Rights Watch saat menyampaikan penolakan eksekusi mati yang dilakukan pemerintah di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, Senin (19/1)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penerapan hukuman seumur hidup dinilai lebih manusiawi dari eksekusi mati atas terpidana narkoba. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat menghapuskan kebijakan penerapan eksekusi mati kepada narapidana.

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, mengatakan tidak ada satupun metode yang bisa digunakan untuk melegalkan penerapan eksekusi mati.

"Tidak ada metode eksekusi mati yang dapat dikatakan 'lebih beradab' dari metode pembanding lainnya. Selama tujuannya merampas nyawa orang sama saja melanggar konstitusi," kata Poengky kepada CNN Indonesia seusai memberikan pernyataan penolakan eksekusi mati di Gedung Komnas HAM, Senin (19/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poengky mengatakan penerapan hukuman seumur hidup terhadap terpidana lebih baik ketimbang mengeksekusi mati tahanan.

"Lebih baik disiksa saat hidup daripada dieksekusi mati," kata Poengky.

Sebagai pembanding, Poengky mengatakan hingga saat ini beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah mengeluarkan moratorium mengenai pelaksanaan hukuman mati. Negara bagian tersebut antara lain Washington, Connecticut,dan Maryland. Ketiganya telah mencabut proses hukuman mati di wilayahnya masing-masing.

"Jadi salah jika pemerintah bilang di Amerika saja ada hukuman mati yang dilakukan. Padahal, kan, dalam UUD 45 pasal 27 sudah diatur hak untuk hidup. Pemerintah jadi tidak konsisten dalam menegakkan hukum," ujar Poengky saat mewakili Imparsial di acara yang berlangsung di Kantor Komnas HAM itu.

Pemerintah Indonesia diketahui telah melakukan eksekusi mati terhadap enam orang terpidana kasus narkoba di Nusakambangan dan Boyolali pada Minggu (18/1) dinihari lalu.

Keenam terpidana yang telah ditembak mati tersebut adalah Ang Kiem Soei warga negara Belanda; Namaona Denis warga negara Malawi; Marco Archer Cardoso Moreira warga negara Brazil; Daniel Enemuo warga negara Nigeria; Rani Andriani dari Cianjur dan Tran Thi Bich Hanh warga negara Vietnam.

Sebelumnya, delapan LSM HAM berkumpul dan memberikan pernyataan sikap penolakan terhadap keputusan eksekusi mati pemerintah Indonesia.

"Metode penerapan hukuman mati di Indonesia tidak relevan lagi dengan kondisi dunia saat ini," kata Koordinator KontraS, Haris Azhar, dalam pernyataan sikap bersama delapan lembaga di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.

Kedelapan LSM HAM yang bergabung dalam aksi penolakan eksekusi mati antara lain, Komnas HAM , KontraS, Imparsial, Human Rights Working Group, LBH masyarakat, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), dan Human Rights Watch.

Berbeda dengan kalangan LSM HAM, anggota Komisi Hukum dan HAM DPR RI, Arsul Sani, menilai penerapan hukuman mati sudah sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati, dalam hal ini kejahatan narkoba, juga sudah melalui berbagai pertimbangan. "Saat ini kita masih membutuhkan hukuman mati untuk kasus-kasus tertentu yang berat, misalnya terhadap gembong narkoba," kata Arsul kepada CNN Indonesia.

Arsul menekankan bahwa pelaksanaan hukuman mati di satu sisi memang meniadakan aspek HAM pelaku narkoba namun di sisi lain menyelamatkan jutaan orang generasi bangsa dari bahaya narkoba. 

Politikus PPP ini menilai penolakan terhadap eksekusi mati dari kalangan pegiat HAM dan juga dari Amnesty Internasional lebih kepada meminta perhatian pemerintah agar benar-benar selektif dalam melakukan eksekusi terhadap terpidana mati.



(utd/obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER