EKSEKUSI TERPIDANA MATI

Kode 'Just Landed' Sebelum Eksekusi Terpidana Mati

Nezar Patria | CNN Indonesia
Selasa, 20 Jan 2015 16:26 WIB
Pesan singkat diterima Prasetyo, Sabtu (17/1) dari Menlu Retno.  Hari itu juga sang Jaksa Agung memerintahkan eksekusi atas 6 terpidana narkoba.
Ambulans yang membawa jenazah terpidana mati Daniel Enemuo melintas di dermaga penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Minggu (18/1). (Antara/Idhad Zakaria)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Just landed,” demikian bunyi pesan singkat yang diterima Jaksa Agung M Prasetyo dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Sabtu (17/1). Pesan itu seperti sebuah kode penting bagi Prasetyo. Artinya Retno telah kembali ke tanah air dari kunjungannya ke Belanda sejak Minggu (11/1).

“Saya pun memerintahkan tanggal 17 itu agar (terpidana mati kasus narkoba) segera dieksekusi,” kata Prasetyo dalam dialog dengan para pemimpin redaksi di kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, Selasa (20/1).

Keesokannya, Minggu dini hari (18/1), tepatnya pukul 00.30 WIB, lima terpidana mati kasus narkoba dieksekusi di Nusakambangan, dan satu terpidana lainnya dieksekusi enam belas menit kemudian di Boyolali. Aksi itu membuat Indonesia dikecam Belanda dan Brasil yang warganya ada di antara terpidana mati itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelum peluru ditembakkan ke tubuh para terpidana narkoba itu, Presiden Joko Widodo sesungguhnya telah menerima telepon dari Raja Belanda Willem-Alexander dan Presiden Brasil Dilma Rousseff.

Willem-Alexander, pada hari yang sama dengan kedatangan Menlu Retno ke tanah air, meminta eksekusi mati dibatalkan, terutama kepada warganya, Ang Kiem Soei yang mendirikan pabrik ekstasi di Tangerang dengan produksi 150 ribu pil per hari.

Namun Jokowi bergeming. Ia menjawab keputusan mati sudah menjadi putusan pegadilan di Indonesia yang harus dihormati. “Kita harus menghormati upaya negara lain untuk warganya, begitu pula sebaliknya. Kita harus menghormati apa yang menjadi kedaulatan sebuah Negara,” kata Jokowi seperti dikutip dari setkab.go.id.

“Narkoba adalah kejahatan kemanusiaan, dan eksekusi mati bukan sesuatu yang menggembirakan,” kata Jaksa Prasetyo.

Ia membeberkan betapa posisi pemerintah terjepit di antara tudingan domestik dan tekanan internasional. Di dalam negeri, pemerintah dituduh ragu-ragu menindak tegas terpidana narkoba. Sementara dunia justru mencemooh Indonesia yang masih menerapkan hukuman mati bagi terpidana.

“Tapi sebetulnya kami bersikap hati-hati agar memenuhi semua tahap hukum yang ada,” ujar Prasetyo. Tahap hukum itu yakni permohonan grasi yang diajukan terpidana mati kepada Presiden, dan pengajuan peninjauan kembali (PK) yang bisa dilakukan berkali-kali selama ada alat bukti baru.

Menlu Retno menyatakan eksekusi terpidana mati narkoba adalah urusan penegakan hukum dalam negeri, bukan soal hubungan Indonesia dengan negara lain. “Ini bukan melawan bangsa atau negara lain. Narkoba adalah kejahatan serius yang harus diperangi oleh Negara manapun di dunia,” kata dia.

Namun pemerintah RI paham bahwa negara yang warganya dieksekusi oleh negara lain pasti akan marah. Maka demi menghindari hal-hal yang kurang mengenakkan, Menlu Retno meminta Jaksa Prasetyo untuk tidak melakukan eksekusi saat dia masih berada di Belanda. Retno berada di Negeri Kincir Angin itu selama lima hari, 11-15 Januari, untuk berpamitan dengan masyarakat Belanda maupun warga Indonesia di Belanda dalam kapasitasnya selaku mantan Dubes RI untuk Belanda.

Sebelum ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri Luar Negeri, Retno menjabat Dubes RI untuk Belanda. Saat berpamitan dengan masyarakat Belanda, Retno bahkan bertemu dengan Raja Willem-Alexander –yang menelepon Jokowi untuk meminta eksekusi mati dibatalkan saat Retno sudah pulang dari Belanda.

Retno dan Raja Willem-Alexander yang didampingi Ratu Maxima bertemu di Istana Noordeinde, Den Haag. Kehadiran Ratu Belanda itu termasuk istimewa, karena biasanya Ratu tak mendampingi Raja dalam acara perpisahan dengan seorang Duta Besar.

Di akhir pertemuan, sang Raja Belanda bahkan memberi anugerah Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau kepada Retno. Ini bintang jasa tertinggi yang biasa diberikan Kerajaan Belanda kepada kepala pemerintahan atau pejabat tinggi. Dari situ terlihat betapa Belanda amat menghargai Indonesia sebagai sahabat.

Destinasi Narkoba

Retno yang berhubungan amat baik dengan Belanda itu mengatakan dunia perlu paham dengan upaya serius Indonesia memerangi narkoba. “Sebab negeri ini sudah menjadi destinasi, tujuan pasar narkoba,” kata dia di Kantor Kemenkopolhukam.

Posisi geografis Indonesia yang strategis pun tak hanya membuat RI menjadi daerah transit, melainkan juga daerah destinasi mafia narkoba internasional. Kini di Indonesia ada 5 juta pemakai narkoba, dan 2 juta jiwa di antaranya dalam keadaan parah sehingga tak bisa lagi direhabilitasi.

Jumlah 5 juta jiwa, ujar Retno, “Lebih besar dari total populasi penduduk Selandia Baru.” Dari jumlah itu, sekitar 40-50 orang tewas setiap harinya. Jika dikalkulasi, angka kematian akibat narkoba di Indonesia sekitar 14.400-18.000 jiwa per tahun.

Data-data soal narkoba dipaparkan gamblang oleh Retno. “Jika satu pecandu sabu-sabu butuh satu gram per hari, artinya ada 4-5 ton sabu per hari beredar,” kata dia.

Menurut Retno, Indonesia adalah negara ketiga pengguna narkoba terbesar di dunia. Sekitar 10 persen angka kematian akibat narkoba di dunia, ada di Indonesia. Bisnis gelap itu per tahunnya menghasilkan sekitar Rp 110 triliun, dan ujar Retno, “Sekitar 43 persen di antaranya ada di Indonesia.”

Oleh sebab itu, kata Retno, Indonesia sekarang dalam status darurat bahaya narkoba.

Narkoba bukan persoalan enteng. Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, 50 persen narapidana di Indonesia adalah narapidana kasus narkoba. Untuk itu pemerintah menyiapkan dana rehabilitasi Rp 1 triliun untuk menolong sekitar 100 ribu pemakai narkoba.

Soal hengkangnya Duta Besar Belanda dan Brasil dari Indonesia pasca eksekusi mati, Menlu Retno meluruskan duduk perkaranya. “Mereka bukan ditarik, tapi dipanggil pulang untuk konsultasi, dan itu hak negara yang bersangkutan,” kata dia.

Dalam diplomasi antarbangsa, ujar Retno, pemanggilan pulang untuk konsultasi dan penarikan duta besar adalah hal berbeda.

Tekanan internasional tak membuat pemerintah RI surut. Diplomasi tak diperkenankan menghambat perang terhadap narkoba. Jaksa Agung berpesan: masih ada lagi 60 nama bandar dan pengedar narkoba yang segera menghadapi regu tembak. (agk/nez)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER