Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana (Sani) menyatakan kelebihan anggaran Rp 8,8 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2015 bukan dana siluman.
Dana tersebut, kata Sani, merupakan selisih anggaran yang telah dikoreksi oleh DPRD dari ajuan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).
"Setelah diadakan klarifikasi kemarin, akhirnya diketahui dari laporan tim anggaran, yang namanya anggaran siluman itu enggak pernah ada," kata Triwisaksana di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (20/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sempat marah dengan adanya dana tambahan sebesar Rp 8,8 triliun dalam RAPBD 2015. Dia menilai banyak pengajuan program yang tidak wajar jumlah dananya, seperti sosialisasi Surat Keputusan Gubernur, seminar, dan pengadaan alat elektronik.
"Kalau mau beli tanah, oke masuk akal segitu. Beli tanah buat ruang hijau atau buat tempat ibadah lebih luas," ujar Ahok.
Namun, menurut Sani, terdapat miskomunikasi antara DPRD dengan Gubernur DKI Jakarta dalam intepretasi anggaran. Dana Rp 8,8 triliun tersebut merupakan kelebihan dana yang didapat DPRD setelah mengoreksi pengajuan anggaran oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dalam ajuan KUA-PPAS atau usulan anggaran pra-RAPBD, Pemprov DKI Jakarta mengajukan dana sebesar Rp 79 triliun. Sementara DPRD DKI Jakarta menyetujui anggaran sebesar Rp 73 triliun.
"Ada kelebihan di sini dan barangkali yang kelebihan sekian triliun itu yang dianggap siluman," ujar dia.
Sementara mengenai rencana Ahok untuk melakukan mekanisme
e-budgeting atau rencana keuangan elektronik, Sani menyambut baik gagasan tersebut, sebab sistem itu mampu menghilangkan praktik-praktik permainan anggaran sehingga semua nilai anggaran dapat dimonitor langsung oleh Gubernur dan DPRD DKI Jakarta.
"Sekarang kan sudah
e-budgeting, jadi semuanya transparan. Bisa ketahuan siapa saja yang
input data bahkan sampai jamnya. Jadi, memang anggaran (tak wajar) itu tak pernah ada," kata Sani.
Sementara Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Heru Budi Hartono mengatakan memang ada perbedaan persepsi antara Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD tentang selisih dana.
"Jadi sebenarnya ada poin-poin yang dikoreksi DPRD. Kami maunya Rp 79 triliun, dapatnya hanya Rp 73 triliun. Ini yang harus dikoreksi," kata Sani.
Untuk itu Pemprov DKI Jakarta berencana memotong dana-dana yang dianggap tidak penting guna dialokasikan untuk pembangunan fisik gedung.
"Maksud Gubernur, anggaran yang dipotong itu sosialisasi di wilayah. Ada arahan juga untuk tak boleh beli kursi, papan tulis, koreksi belanja kendaraan dan telepon serta air," ujar dia.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan dana bisa dikatakan menyimpang ketika kesepakatan awal dengan DPRD, termasuk pembahasan dalam komisi di DPRD, mengalami perubahan.
"Ketika tidak konsisten tujuannya, misal dilihat ada program baru, maka bisa jadi ada praktik penyimpangan fungsi anggaran DPRD," kata ujar Roy.
Kecurigaan dana tak wajar juga bisa muncul akibat adanya pembahasan anggaran yang tertutup, sehingga informasi mengenai perubahan pengajuan anggaran tidak bisa diketahui publik. Mekanisme
e-budgeting, dengan demikian, diharapkan bisa membuka peluang untuk transparansi anggaran.
(utd/agk)