Jakarta, CNN Indonesia -- Guru Besar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menilai ada banyaknya hal-hal yang harus direvisi dalam undang-undang Pemilihan Kepala Daerah yang baru saja disahkan oleh DPR. Salah satunya adalah hal perkara yang berhubungan dengan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jadi MK tidak boleh melepas beban hanya karena kasus Akil Mochtar, tidak boleh begitu. Kalau perkara cuma seratus dua ratus per tahun itu terlalu mewah," tutur Jimly saat ditemui di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (20/1).
Hal ini menjadi poin yang perlu dikaji ulang karena dalam UU Pilkada dituliskan rezim Pilkada berbeda dengan rezim Pemilu. Perbedaan ini beresiko dalam penanganan sengketa perkara nantinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya dalam Perppu disebutkan perkara mengenai Pilkada tidak lagi ditangani oleh Mahkamah Konstitusi, melakinkan Mahkamah Agung. Salah satu alasannya adalah karena takut menumpuknya perkara yang ditangani oleh MK dan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat.
"Ini tidak membuat perkara di MK itu menumpuk, paling banyak kan juga seribu kasus per tahun," tegasnya.
Ia pun membandingkan dengan penanganan beberapa perkara di negara lainnya seperti di Amerika dan Jerman.
"Sembilan hakim Agung Amerika menangani 20 ribu perkara pertahun. MK Jerman 18 orang juga sanggup menyelesaikan perkara 20ribu pertahun," ceritanya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar penanganan perkara Pilkada dikembalikan lagi ke Makamah Konstitusi. Kendati demikian, ia mengembalikan pengambilan keputusan kepada pemerintah dan DPR.
Menurutnya dengan dikembalikannya lagi penanganan perkara ke MK, maka MK dapat memperbaiki masalah yang ada, bukan hanya menangan masalah-masalah yang mudah.
"Yang pelik begini kan menuntut kepiawaian manajemen internal untuk menyelesaikan masalah tanpa mengurangi integritas," tutur mantan Ketua Hakim MK ini.
(pit/obs)