Jakarta, CNN Indonesia -- Mengantungnya status yang disandang Komisaris Jenderal Budi Gunawan, baik sebagai tersangka gratifikasi maupun Kapolri, telah menimbulkan pertanyaan besar di ranah publik.
Dalam hal ini, semua mata tertuju pada Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara yang memiliki kuasa dalam memutuskan jalan keluar.
Bagaimanapun, posisi Jokowi saat ini dalam posisi tertekan dari berbagai penjuru. Pertimbangan Jokowi untuk mencari solusi berbenturan dengan desakan yang saling sengkarut di ranah hukum, politik, dan publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, Jokowi masih memiliki memiliki skenario yang menjadi subjektivitas wewenang dalam memutuskan dilantik atau tidaknya Budi Gunawan sebagai Kapolri. Pasalnya, uji kelayakan Budi yang diloloskan parlemen bukanlah sebuah kewajiban yang perlu dituruti Jokowi.
"Sepanjang penetapan tersangka Budi Gunawan itu dibenarkan, Presiden masih memiliki ruang subjektivitas untuk mencari calon yang baru," ujar Refly saat ditemui di bilangan Cikini, Jakarta, Ahad (1/2).
Pencalonan Kapolri, kata Refly, berbeda dengan pencalonan penyelenggara negara di sebuah lembaga hasil seleksi lembaga lain, serta pencalonan yang diputuskan oleh tim panitia seleksi.
Dia mencontohkan ketika Komisi Yudisial memilih Hakim Agung dan/atau panitia seleksi menentukan Hakim Konstitusi, Presiden hanya berwenang mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai bentuk persetujuan dari pilihan yang telah ditentukan lembaga atau pansel.
Meski demikian, perspektif hukum dan politik merupakan tantangan yang menjadi persoalan bagi Jokowi. Di ranah hukum, kata Refly, penetapan tersangka Budi Gunawan akan saling berbenturan karena masih ada azas praduga tak bersalah pada Budi Gunawan.
Sementara di ranah politik, Refly menilai Jokowi tidak bisa mengelak dari bayang-bayang partai pengusungnya yang masih ngotot mencalonkan Budi Gunawan.
Di mata Refly, pertemuan yang dilakukan Jokowi dengan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto merupakan bahasa politik untuk meninggikan daya tawarnya sebagai Presiden yang punya kuasa.
Namun, Refly menegaskan tekanan besar yang sesungguhnya datang dari masyarakat. Bagaimanapun, publik tentunya tidak menghendaki Jokowi melantik seorang Kapolri bermasalah.
"Dengan kata lain, risiko tekanan bagi Jokowi dengan membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri tidak lebih besar ketimbang memaksakan diri melantiknya," ujar Refly.
(utd/utd)