Jakarta, CNN Indonesia -- Instruksi Jokowi untuk menyeragamkan panggilan dirinya dengan nama singkatan dinilai sebagai upaya Presiden menghilangkan hubungan asimetris antara masyarakat dengan seorang kepala negara. Lebih jauh lagi, melalui instruksi tersebut, warisan budaya feodalistik yang menempatkan pimpinan sebagai tuhan atau raja, yang sakral, bisa diruntuhkan.
Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Ade Armando mengatakan tradisi politik di Indonesia seringkali diwarisi dengan politik Jawa yang feodal. Budaya tersebut, katanya, mengejawantah terhadap penjelmaan seorang pimpinan atau presiden sebagai raja atau tuhan yang sifatnya sakral.
"Ada kebudayaan di mana orang yang ditunjuk sebagai pimpinan itu perwakilan tuhan. Hal ini masih ditemui dalam hierarki politik dan budaya masyarakat Indonesia, yang berusaha untuk digerus terus menerus dari masa ke masa," kata Ade saat dihubungi CNN Indonesia, Jumat (6/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ade menilai dengan adanya feodalisme tersebut, pejabat di struktural pemerintah minta dilayani oleh masyarakatnya. Hal ini tentunya berkebalikan dengan esensi kepemimpinan. Ade mencontohkan dengan adanya budaya itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa membentak masyarakat sipil.
"Tindakan ini mencerminkan kebudayaan itu. Inilah yang mesti direvolusi mental," ujar dia.
Lebih jauh lagi, Ade menilai upaya penyingkatan panggilan tersebut merupakan salah satu bagian konsisten yang dilakukan Jokowi sebagai presiden agar tidak dilihat sebagai supra ordinat masyarakat. Sebaliknya, Jokowi, katanya, ingin mengesankan bahwa dia orang yang dipilih untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat luas.
"Ini konsisten dengan tradisi blusukan, baju putih dan kurangi vorider dari Jokowi. Tampak upaya dia untuk berkomunikasi secara lebih terbuka dengan siapapun," ujar Ade.
Ade mengatakan penyebutan nama gelar seperti haji atau insinyur di depan nama kepala daerah mengandung konotasi ketidaksetaraan hubungan. "Saya haji dan Anda bukan haji. Anda mesti menghormati kehajian saya," kata dia.
Selain itu, adanya nama gelar bisa mendorong pejabat pemerintahan untuk berlomba-lomba membeli gelar untuk mencapai posisi mereka. Padahal, katanya, Jokowi ingin menunjukkan dalam pemerintahannya, gelar tanpa adanya kualitas dan prestasi kerja tidaklah berarti apapun.
"Lihat saja menteri-menterinya, ada yang tidak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) tapi sukses mimpin departemennya," kata dia menegaskan.
Mengenai budaya egaliter, kata Ade, sebenarnya sudah dimulai sejak kepemimpinan Soekarno dan Hatta di mana keduanya dipanggil dengan sebutan Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, semangat egaliter tersebut memudar terutama saat memasuki masa orde baru yang menempatkan pimpinan diatas segalanya. Lalu, pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, Ade menilai, sudah ada upaya meminimalisir budaya feodalisme dengan membiarkan dirinya diejek masyarakat.
"Nah, yang dilakukan Jokowi sekarang lebih jauh lagi. Ini pernyataan yang menegaskan adanya pendekatan egaliter Presiden Jokowi kepada masyarakatnya," katanya.
Sebelumnya, pada Kamis (22/1), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menginstruksikan kepada pejabat setingkat bupati dan gubernur di seluruh Indonesia untuk menggunakan Bapak Jokowi untuk menyebut nama Presiden. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan dan Informasi Kemendagri Dodi Riatmadji kepada CNN Indonesia.
"Dibuat untuk menyeragamkan. Katanya kemarin pas pertemuan bupati gubernur ada yang sebut Insinyur Joko Widodo dan lain-lain. Makanya, Pak Tjahjo minta untuk diseragamkan," ujar dia.
Dodi menjelaskan tersebut merupakan pertama kali dalam sejarah Indonesia seorang kepala negara minta dipanggil dengan nama singkatan.
"Di zaman Pak SBY mana ada yang berani (memanggil nama singkatan). Rasa-rasanya ini yang pertama karena zaman Pak Harto, Bu Mega dan Pak SBY tidak pernah ada instruksi seperti ini," kata Dodi kepada CNN Indonesia, Jumat (6/2).
(utd)