Jakarta, CNN Indonesia -- Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi dalam memutuskan perkara Komjen Pol Budi Gunawan dalam sidang praperadilan 16 Februari lalu dinilai tidak sesuai dengan kaidah interpretasi hukum.
Menurut salah satu saksi ahli yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam persidangan praperadilan Jumat (13/2), penafsiran untuk hukum acara pidana hanya boleh menggunakan penafsiran gramatikal, historis, dan sistematis.
"Untuk hukum pidana dan hukum acara pidana hanya boleh menggunakan gramatikal, seperlunya menggunakan penjelasan historis, dan seperlunya supaya tidak bertabrakan dengan pasal yang lain menggunakan penafsiran sistematis," ujar pengamat hukum, Bernard Arief Sidharta, saat diskusi di Jakarta, Minggu (22/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa pihak menilai dalil yang terkandung dalam permohonan perkara Budi Gunawan bukan merupakan wewenang lembaga persidangan praperadilan. Akan tetapi, mengacu pada pasal 22AB, hakim dapat dikenai sanksi jika menolak mengadili perkara atas alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap.
Oleh karena itu, hakim Sarpin pun menerima perkara dan menafsirkan serta menginterpretasikan hukum untuk mendasarkan putusan perkaranya.
"Untuk mencapai tujuannya, hukum menghadirkan diri dalam bentuk kaidah-kaidah hukum. Upaya untuk menemukan kaidah hukum yg tercantum dalam aturan hukum itu yang disebut interpretasi," ujar Bernard.
Hakim Sarpin dalam sidang permohonan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan memutuskan penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan tidak sah. Sementara kewenangan memutus legalitas penetapan tersangka tidak termaktub dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal tersebut hanya menyebutkan praperadilan hanya berwenang memeriksa sah atau tidak penangkapan dan penahanan; sah atau tidak penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
Lebih jauh pengamat sekaligus dosen hukum di Universitas Padjajaran ini berpendapat, hukum acara pidana hanya dapat ditafsirkan sebagaimana kata dan rangkaian kata yang ada dalamnya. "Tidak disebutkan dalam Pasal 77 kalau penetapan tersangka merupakan kewenangan praperadilan."
(obs)