Jakarta, CNN Indonesia -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melansir bahwa Indonesia telah resmi keluar dari daftar hitam (
blacklist) negara rawan pencucian uang. Kepastian dikeluarkannya Indonesia dari daftar hitam dikonfirmasi dalam sidang Financial Action Task Force (FATF) di Paris, Perancis, Selasa lalu (24/2).
"Indonesia disetujui untuk keluar dari
blacklist FATF untuk implementasi penanganan anti pendanaan terorisme atau
counter terorism financing," kata Wakil Kepala PPATK Agus Santoso kepada CNN Indonesia hari ini, Rabu (25/2).
Menurut Agus, sidang FATF yang berlangsung di markas Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), secara bulat mengakui upaya dan komitmen Indonesia dalam mencegah dan memberantas pendanaan terorisme. Usaha Indonesia untuk keluar dari daftar hitam dilakukan sejak tahun 2012.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah melalui rangkaian evaluasi oleh
review group selama dua tahun ini, akhirnya 35 negara anggota FATF secara bulat memutuskan Indonesia menjadi
greylist," ujar Agus.
Setelah masuk dalam kategori
greylist, lanjut Agus, sejumlah negara yang tergabung dalam
Regional Review Group on Indoensia akan melakukan penilaian setempat melalui
onsite visit. "Keberhasilan ini akan berdampak langsung pada perspesi dan peringkat investasi terhadap Indonesia," kata Agus.
Hingga hari ini, Agus masih berada di Paris, Perancis, untuk mengikuti sidang FATF. Agus hadir dalam sidang tersebut bersama Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri. "Banyak persiapan teknis yang kami lakukan selama dua tahun untuk bisa keluar dari
blacklist," ujarnya.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelumnya mempertanyakan mengapa Indonesia bisa masuk dalam daftar hitam. Saat itu PPATK menjelaskan, Indonesia belum menjalankan sejumlah rekomendasi khusus yang diminta FATF, terutama mengenai pendanaan terorisme.
Rekomendasi khusus dimaksud yaitu permintaan FATF agar Indonesia membekukan seluruh aset keluarga dari orang yang masuk daftar teroris. Pembekuan diminta dilakukan kepada seluruh keluarga tanpa terkecuali, termasuk anak tiri dari orang yang diduga teroris.
Rekomendasi tersebut tidak mudah diterapkan di Indonesia karena membekukan rekening seseorang tanpa ada pelanggaran hukum, justru bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang diatur oleh hukum positif di Indonesia.
(rdk)