Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Kelompok Kerja Komisi Hukum Dewan Pers Leo Batubara menegaskan pemberitaan Majalah Tempo soal aliran transaksi keuangan Komjen Budi Gunawan bukanlah tindakan membocorkan rahasia. Rahasia yang dimaksud yakni soal data nasabah di bank tempat jenderal bintang tiga menyimpan hartanya.
Majalah Tempo menarasikan aliran transaksi anggita Korps Bhayangkara tersebut dalam artikel di majalah bertajuk "Bukan Sembarang Rekening Gendut" tertanggal 19-25 Januari 2015. Atas hal tersebut, Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) melaporkan Tempo ke Polri dengan tuduhan melanggar UU Perbankan dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, pada tanggal 22 Januari 2015 lalu.
"Majalah Tempo dituduh pengadu bahwa ia membocorkan info yang diduga melanggar UU perbankan. Pertanyaannya, siapa yang melanggar? Tempo atau lembaga otoritas yang punya data aliran dana dan bocor ke publik? Tempo tidak membocorkan," ujar Leo saat jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (3/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, justru si pembocor adalah pejabat dari lembaga yang memiliki otoritas mengetahui informasi tersebut. "Ada otoritas yang membocorkan dan jatuh ke Tempo, Tempo menyiarkan. Jadi yang membocorkan bukan Majalah Tempo tapi lembaga itu," katanya.
Alhasil, menurut Leo, tuduhan tak bisa dilayangkan oleh GMBI kepada Tempo. "Menurut MoU (Memorandum of Understanding) antara Polri dan Dewan Pers, seyogyanya pengaduan ditolak polisi dan diserahkan ke Dewan Pers. Tapi kalau diperiksa, salah memeriksa Tempo. Silakan penyidik kejar siapa lembaga otoriras yang membocorkan," tuturnya.
GMBI menuduh Majalah Tempo melanggar Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasar penelusuran CNN Indonesia Pasal 47 UU Perbankan menyebutkan siapa pun tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, diancam dengan pidana minimal dua tahun dan maksimal empat tahun. Sementara itu, untuk pidana denda yakni minimal Rp 10 miliar dan maksimal Rp 200 miliar.
Lebih lanjut, Pasal 11 UU Pencucian Uang menjelaskan apabila pejabat atau pegawai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut undang-undang ini wajib merahasiakannya kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang ini. Apabila melanggar, maka diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun.
Leo melanjutkan, kasus serupa pernah terjadi saat Majalah Panji memberitakan instruksi menipulasi pemeriksaan oleh mantan Presiden BJ Habibie pada 1998. "Dalam kaitan itu, Presiden Habibi bertelepon dengan jaksa agung yang isinya 'Jaksa Agung periksa itu presiden (Soeharto) supaya rakyat tahu kita ini seolah-olah memeriksa'," ujar Leo. Atas desakan pers, pada momen tersebut, Polri batal memidanakan Pemimpin Redaksi Panji Uni Lubis.
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo alias Stanley menjelaskan, apabila penyidik menanyakan soal sumber informasi, maka wartawan dapat memiliki hak tolak. "Wartawan punya hak tolak jika ditanya siapa yang punya informasi. Tapi ada keterbatasan juga, saat di pengadilan hak tolak dibatalkan, media harus membuka," katanya saat jumpa pers.
Dalam kondisi demikian, akan menjadi kebijakan media untuk membuka sosok pemberi informasi atau menyimpannya dan menerima tanggung jawab sepenuhnya sebagai terdakwa.
Hak tolak termaktub dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
(pit)