Proses Hukum 17 PRT Diduga Penuh Kolusi

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Kamis, 05 Mar 2015 08:44 WIB
Jaringan Nasional Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menilai proses hukum atas 17 PRT asal Nusa Tenggara Timur (NTT) penuh kolusi.
Pengunjuk rasa dari Jaringan Buruh Migran Indonesia memperlihatkan poster Keadilan Untuk Erwiana saat melakukan unjuk rasa menolak perbudakan Pembantu Rumah Tangga Indonesa dan Migran di Jakarta, Jumat (27/2)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jaringan Nasional Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menilai proses hukum atas 17 Pekerja Rumah Tangga (PRT) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) penuh kolusi. Hal itu disampaikan melihat ringannya vonis hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Kota Bogor atas Mutiara Situmorang, istri Brigjen Pol (Purn) Mangisi Situmorang.

Koordinator Advokasi dari JALA PRT, Lita Anggraini, mengatakan pihaknya mengecam sikap majelis hakim PN Kota Bogor yang memberikan hukuman sangat ringan bagi pelaku tindak kriminal berlapis, Mutiara.

"Hukuman 1 tahun bagi kami sangat ringan. Kami mengecam sikap majelis hakim PN Kota Bogor atas vonis tersebut," katanya saat dihubungi CNN Indonesia, Rabu (4/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lita menjelaskan selain vonis yang dinilai tidak adil, proses hukum yang dijalani oleh tim kuasa hukum juga dinilai macet, terutama dari pihak kepolisian.

"Pelaku melakukan kekerasan ini berulang-ulang namun proses hukum selalu macet di kepolisian," ujar dia menegaskan.

Lita kemudian menceritakan pendampingan hukum dimulai pertama kali setelah 17 PRT dibawa ke Reskrim Polsek Bogor setelah melarikan diri dari kediaman Mutiara Situmorang, pada Oktober 2012. Kasus tersebut kemudian dilimpahkan ke Polres Kabupaten Bogor.

"Kami mencoba mendatangi 17 korban ke Polres Kab. Bogor namun tidak lama kemudian, kasus dinyatakan ditutup. Katanya hanya kesalahpahaman dan korban disarankan kembali ke Mutiara dan melakukan mediasi," ujar dia menjelaskan. "Katanya tidak mungkin PRT melarikan diri. Ini, kan, aneh."

Tidak terima, tim kuasa hukum dari JALA PRT, LBH Keadilan dan LBH Jakarta kemudian mengecam balik keputusan SP3 dari kepolisian dan menuduh adanya kolusi dari pihak penegak hukum. Tim juga mengirimi surat ke Kementerian Tenaga Kerja, ke lembaga buruh migran internasional IOM dan Komisi Kepolisian Nasional namun tidak ada tanggapan.

"Kami baru sadar adanya pola kolusi aparat penegak hukum dengan menutup-nutupi kasus ini. Saat itu, suami pelaku masih menjabat di Mabes Polri," kata Pratiwi dari LBH Jakarta.

Pihak kepolisian juga mengecam balik tim kuasa hukum yang dituduh telah melakukan pencemaran nama baik. Akhirnya, kata Pratiwi, kasus itu tertutup dengan sendirinya.

Namun, pada Februari 2014, Yuliana Lewier, salah satu korban kembali mengadukan kasus tersebut ke Polres Kabupaten Bogor. Saat itulah, kasus akhirnya diproses hingga tingkat pengadilan.

Atas putusan hakim, pihaknya mengatakan mendesak jaksa untuk melakukan banding. selain ditemukan beberapa kejanggalan vonis, kasus tersebut juga dinilai menjurus ke arah tindak pidana perdagangan orang.

"Tindakan memperkerjakan orang tidak sesuai perjanjian, tidak dibayar, disekap, itu menjurus ke perbudakan," ujar Lita.

Lebih jauh lagi, kesimpulan tersebut diambilnya setelah menelusuri agen yang menyalurkan ke 17 PRT tersebut kepada Mutiara Situmorang. Agen tersebut bernama PT I.J. yang berdomisili di Bali. Agen penyalur PRT tersebut, katanya, pernah diperiksa oleh Polda Bali atas dugaan perdagangan manusia. 

"Sudah tahu bermasalah, kok, masih dipakai juga," ujarnya. (utd/obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER