Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia akan tetap melakukan eksekusi terhadap sembilan terpidana mati. Kriminolog dari Universitas Indonesia Iqrak Sulhin menganggap hal tersebut menjadi tanda bahwa pemerintah Indonesia tidak mau berpikir.
"Eksekusi mati ini merupakan bentuk negara yang tidak mau berpikir. Mau simpelnya saja, tidak mau berpikir mengenai pencegahan," ujar Iqrak saat ditemui di sebuah diskusi mengenai penolakan hukuman mati di Jakarta, Sabtu (7/3).
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menegaskan pemerintah akan konsisten melakukan berbagai tindakan tegas atas peredaran narkoba yang semakin marak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, lanjut Retno, Indonesia kini menjadi negara destinasi terbesar narkoba di dunia. Kondisi darurat itulah yang harus dihadapi pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo.
Menurut Iqrak, hal tersebut benar-benar melanggar hak asasi manusia. Selain itu, ia pun menilai hukuman mati ini tidak dapat diperbaiki apabila nantinya terbukti bahwa sang terpidana tidak melakukan kesalahan atau adanya kecacatan dalam hukum.
"Karenanya, saya lebih setuju apabila para terpidana tersebut diberikan hukuman penjara seumur hidup," tegasnya.
Sepuluh terpidana mati sedianya akan dieksekusi dalam waktu dekat, telah berada di Nusakambangan. Tiga di antaranya berada di LP Besi, yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran asal Australia, serta Raheem Agbaje Salami asal Nigeria.
Sementara itu Serge Areski Atlaoui asal Prancis, Rodrigo Gularte asal Brasil, dan Zainal Abidin warga Indonesia, berada di LP Pasir Putih. Tiga lainnya yakni Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa dan Okwudili Oyatanze asal Nigeria, serta Martin Anderson alias Belo asal Ghana.
Terpidana mati kasus narkotika asal Filipina Mary Jane Fiesta Veloso (30) hingga saat ini belum dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan. Mary masih mendekam di lapas asalnya, Lapas Wirogunan Yogyakarta.
(obs)