Gerindra Dukung Pemberian Remisi Kepada Koruptor

Abraham Utama | CNN Indonesia
Minggu, 15 Mar 2015 15:07 WIB
Kriteria baru untuk pemberian remisi kepada koruptor oleh Menteri Yasonna, didukung Gerindra karena remisi dinilai sebagai hak yang harus diberikan.
Pengunjung mengamati papan (cut board) bergambar koruptor Angelina Sondakh dan Akil Mochtar di Museum Nasional, Jakarta, Minggu, 14 Desember 2014. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Meski ditentang oleh banyak pihak, wacana soal pembuatan kriteria baru atas pemberian remisi kepada koruptor yang dilontarkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mendapat dukungan dari Partai Gerindra. 

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan dukungannya atas rencana Menteri Yasonna tersebut. Dia mengatakan, remisi merupakan hak seluruh narapidana, termasuk narapidana kasus tindak pidana korupsi.

"Yang diwacanakan Yasonna tentang pemberian remisi dengan kriteria itu sesuatu yang baik supaya tidak semua narapidana kasus korupsi bisa mendapatkan," kata Muzani di kawasan Tebet, Jakarta, Minggu (15/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Fraksi Gerindra di DPR ini menambahkan, terlepas dari kriteria apa yang nantinya dibuat Kemenkumham, yang paling penting menurutnya, negara jangan menghentikan pemberian remisi. "Yang penting hak itu diberikan dulu karena itu hak mereka," katanya.

Muzani memaklumi, kebijakan Yasona ini akan mendapat tentangan publik. Namun dengan adanya syarat pemberian remisi, ia menilai pro dan kontra perihal ini seharusnya tidak perlu berlanjut.

"Kan ada kriteria. Yang penting buat Gerindra, negara menjamin hak konstitusi. Tapi memang harus dibatasi supaya tidak semua napi mendapatkannya. Nanti jadinya akan obral remisi," tuturnya.

Belakangan, Yasonna memang mewacanakan perubahan kriteria pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi. Pekan ini, Yasonna menyatakan ketidaksepakatnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang pembatasan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tindak pidana kejahatan luar biasa.

Yasonna menilai PP tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan bertentangan dengan prinsip dasar pemberian remisi kepada narapidana yang diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.

Di tempat lain, peneliti Indonesian Corruption Watch,  Emerson Yuntho kepada CNN Indonesia, Jumat (13/3), menegaskan penolakan wacana tersebut karena koruptor sebagai penelan duit rakyat tidak seharusnya diberi keringanan. 

"Kalau kami sendiri menolak pemberian remisi pada koruptor kecuali dia justice collabolator atau whistle blower," ujarnya. Dalam teknisnya, penyebutan justice collabolator harus melalui surat yang dikeluarkan lembaga penegak hukum salah satunya KPK.

Namun, apabila Yasonna tetap berkukuh memberikan remisi dan pembebasan bersyarat bagi para koruptor, maka hal tersebut sama saja dengan menggadaikan kepercayaan publik.

"Ini akan mempengaruhi penilaian publik terhadap komitmen anti korupsi Jokowi dan Jusuf Kalla," katanya. (meg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER