Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Yenti Ganarsih menilai pemberian remisi pada koruptor oleh pemerintah semakin diperlonggar. Alhasil, koruptor justru dimanjakan alih-alih jera terhadap perbuatannya.
"Koruptor dimanjakan di Indonesia. Apalagi yang berkaitan dengan remisi karena sekarang ini pendekatan Lembaga Pemasyarakatan (LP) bukan penjara tetapi pendekatannya pembinaan," ujar Yenti dalam sebuah diskusi di bilangan Senayan, Jakarta, Minggu (15/3).
Menurut Yenti, pendekatan pembinaan justru memberikan ampunan kepada narapidana. Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat pun menjadi mungkin untuk para pelaku tindak pidana. Padahal, salah satu upaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan memberikan efek jera. Sekalipun yang bersangkutan berperan sebagai seorang
whistle blower atau
justice collabolator, Yenti menegaskan perlu adanya pemilihan selektif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepakat dengan Yenti, mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua mengamini adanya pemberian efek jera pada para koruptor.
"Kalau dia di penjara tidur di kasur dan di rumah juga, apa bedanya? Kalau sama-sama pakai handphone apa bedanya? Kalau pemberian remisi atas nama HAM, ketika dia korupsi apakah tidak melanggar HAM?" ujar Abdullah dalam diskusi tersebut.
Abdullah menekankan perlunya pengetatan pemberian remisi. "Remisi adalah hak asasi mereka, tapi bukan langsung diberikan. Itu hak bersyarat seperti berkelakuan baik, taubat, dan dilihat apakah 15 hari atau 3 bulan," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan aturan pembatasan remisi terhadap narapidana kasus tindak pidana korupsi tidak sejalan dengan konsep pemidanaan yang saat ini dianut Indonesia, yaitu sistem pemasyarakatan. Kemenkumham pun berencana menyusun kriteria baru tentang pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi.
Merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, persyaratan pemberian remisi diperinci detil. Pasal 34 A Ayat 1 PP tersebut menjelaskan sederetan syarat yang harus dipenuhi antara lain narapidana bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (
justice collabolator); telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Persyaratan lainnya, mereka juga diminta untuk menyatakan ikrar kesetiaan.
PP tersebut dinilai peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho, lebih selektif dalam memberikan remisi dan pembebasan bersyarat, dibanding dengan PP Nomor 28 Tahun 2006.
Merujuk Pasal 34 Ayat 1 PP Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat, setiap narapidana berhak mendapatkan remisi apabila memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.
Apabila mengacu surat tersebut, Emerson menilai maka remisi Natal 2014 diberikan dengan mudah kepada narapidana korupsi kelas kakap seperti Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Haposan Hutagalung, dan Samadi Singarimbun. Keempatnya divonis sebelum November 2012.
(gen)