Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Agung Gayus Lumbuun menyatakan narapidana tindak pidana korupsi juga berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Meski demikian ia menuturkan pemberian dua hak tersebut oleh Kementerian Hukum dan HAM harus didasarkan pada pertimbangan lembaga penegak hukum terkait.
"Pertimbangan ini memberikan jaminan dari instansi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana khusus itu," ujar Gayus di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Kamis (12/3).
Gayus menuturkan, lembaga-lembaga itulah yang sebenarnya dapat memberikan penilaian secara obyektif, apakah narapidana tersebut telah memenuhi tuntutan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bekas politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menambahkan, prinsip non-diskriminatif sangat diperlukan dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat narapidana kasus korupsi maupun tindak pidana khusus lainnya.
Ia pun menyarankan pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yang menurutnya kurang mengedepankan hak asasi terpidana.
"Tadi diakui Pak Menteri (Yasonna Laoly) bahwa ada penyimpangan dalam pelaksanaan remisi. Saya menyebut ini penyelundupan hukum. Ini yang harus diatur dalam revisi PP 99/2012 agar ada kepastian dalam pelaksaannya," ucap Gayus.
Pasal 34A PP 99/2012 mengatur pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana khusus seperti terorisme, narkotika dan korupsi, harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau menjadi justice collaborator.
Syarat lain yang harus dipenuhi terpidana korupsi adalah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana korupsi.
(pit)