Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dinilai menabrak prosedur pemberian remisi dan pembebasan bersyarat pada koruptor. Pasalnya, lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak diajak berunding dalam menyusun keputusan tersebut untuk tiap narapidana yang ditangani lembaga antirasuah.
"Di beberapa kasus, kan, KPK tidak dilibatkan dan tiba-tiba saja muncul pembebasan bersyarat dan remisi untuk koruptor. Ini yang saya pikir soal prosedural tidak dipenuhi. Ya menurut kami ini bermasalah," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho kepada CNN Indonesia, Jumat (13/3).
Menurutnya, penelan duit rakyat tersebut tidak seharusnya diberi keringanan. "Kalau kami sendiri menolak pemberian remisi pada koruptor kecuali dia
justice collabolator atau
whistle blower," ujarnya. Dalam teknisnya, penyebutan
justice collabolator harus melalui surat yang dikeluarkan lembaga penegak hukum salah satunya KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, apabila Yasonna tetap berkukuh memberikan remisi dan pembebasan bersyarat bagi para koruptor, maka hal tersebut sama saja dengan menggadaikan kepercayaan publik. "Ini akan mempengaruhi penilaian publik terhadap komitmen anti korupsi Jokowi dan Jusuf Kalla," katanya.
Dalam pemberian remisi, pihaknya menuntut pemerintah untuk secara adil menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP tersebut dinilai lebih selektif dalam memberikan remisi dan pembebasan bersyarat, dibanding dengan PP Nomor 28 Tahun 2006.
Merujuk Pasal 34 Ayat 1 PP Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Masyarakat, setiap narapidana berhak mendapatkan remisi apabila memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.
Apabila mengacu surat tersebut, maka remisi natal 2014 diberikan dengan mudah kepada narapidana korupsi kelas kakap seperti Urip Tri Gunawan, Anggodo Widjojo, Haposan Hutagalung dan Samadi Singarimbun. Keempatnya divonis sebelum November 2012.
Sementara itu, persyaratan yang lebih rumit tercantum dalam Pasal 34 A Ayat 1 PP Nomor 99 Tahun 2012. Syaratnya, narapidana bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (jusctice collabolator), telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi dan telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Persyaratan lainnya, mereka juga diminta untuk menyatakan ikrar kesetiaan.
"Nampaknya jelas-jelas tidak ada perubahan dari zaman Amir Syamsuddin sampai ke pemerintahan yang baru. Tidak ada sinergi dengan KPK," ujar Emerson menambahkan.
Stagnansi tersebut juga dirasakan oleh lembaga antirasuah. Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Johan Budi Sapto Pribowo menjelaskan nihilnya permintaan koordinasi dari Kementerian Hukum dan HAM dengan lembaganya.
"Remisi merupakan domain dari Kementerian Hukum dan HAM, KPK tidak dilibatkan dalam pemberian remisi kepada narapidana pelaku korupsi," ujar Johan kepada awak media, Kamis (12/3).
Sebelumnya, Yasonna Laoly menyatakan aturan pembatasan remisi terhadap narapidana kasus tindak pidana korupsi tidak sejalan dengan konsep pemidanaan yang saat ini dianut Indonesia, yaitu sistem pemasyarakatan. Dengan demikian, Kemenkumham berencana menyusun kriteria baru tentang pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi.
Lebih lanjut, Yasonna menjelaskan, sistem pemidanaan yang tengah diterapkan di Indonesia membuat koruptor kehilangan harapan hidup. Padahal, menurutnya, dalam kasus korupsi yang paling esensial adalah pengembalian uang negara.
(utd)