Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan, perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak memenuhi undangan diskusi yang ia agendakan.
Yasonna menyayangkan sikap ICW yang menuduh pemerintah pro-koruptor. "ICW tak mau datang, malah kritik-kritik di belakang, disebut pro-koruptor. Kita kan intelektual, tak berdebat seperti itu. Kalau memang ini yang akhirnya kita sepakati, ya sudah," ujar dia.
Menurut Yasonna, diskusi itu sengaja ingin digelar untuk membahas wacana revisi remisi koruptor yang menyulut pro dan kontra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum mengundang KPK dan ICW untuk berdiskusi, ia mengaku telah mengajak para pakar untuk membahas hal yang sama, karena selama ini ada kesimpangsiuran soal wacana itu. Kesimpangsiuran yang dimaksud yakni pemberian remisi dilekatkan ke lembaga lain.
"Itu harus persetujuan KPK dan Kejaksaan. Padahal peraturannya kan sehabis keputusan proses pembinaannya ada di Kementerian Hukum dan HAM, sehingga juga menjadi sangat diskriminatif. Ada orang yang diberikan remisi, ada yang ditahan," ujar Yasonna di Istana Negara, Jumat (13/3).
Ia berpendapat, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Prinsip Dasar Pemberian Remisi menyebutkan bahwa remisi itu hak, sehingga narapidana memiliki hak remisi, hak pembebasan bersyarat, hak pendidikan, dan hak mendapat pelayanan.
"PP (Peraturan Pemerintah) yang ada belakangan kini menimbulkan diskriminasi, termasuk teroris yang harus mendapat persetujuan dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Itu kita kaji supaya tidak ada yang bertentangan dengan undang-undang dan hal-hal yang bersifat diskriminatif," kata dia.
Filosofi penahanan tersangka pun, imbuh dia, tidak lagi filosofi pembalasan atau pencegahan, melainkan filosofi koreksi (correction).
Kendati demikian, KPK dan ICW tidak memenuhi undangan Yasonna.
"Oleh karena itu, saya undang kampus. KPK sudah siap-siap tak mau datang, ICW tak mau datang. Kalau mau berdebat, ya berdebat secara ilmiah," ujar dia.
Padahal, Yasonna mengaku ingin mengkaji limitasi dan variabel yang harus ditambahkan pada pelaku-pelaku tindak pidana yang sifatnya luar biasa (extraordinary), misalnya bandar narkoba, teroris, dan koruptor.
"Tapi jangan lekatkan pada lembaga lain, karena proses pidana polisi menyidik, jaksa menuntut, pengadilan memutuskan. Selebihnya setelah pengadilan memutuskan, urusan berikutnya adalah pembinaan, urusan kami. Tak boleh dilekatkan dengan lembaga lain, nanti diskriminatif," kata dia.
Setelah itu, terang Yasonna, dibuat rumusan pengetatan remisi koruptor. "Saya katakan kalau memang mereka mau diberatkan, beratkan pada hukuman. Dia tidak whistleblower misalnya. Misalnya ada napi koruptor tak mau berkorporasi, itu jadi alasan memperberat hukuman. Jadi hakimlah yang memperberat hukumannya," ujar dia.
Oleh sebab itu, Yasonna berpandangan, lebih baik seluruh pihak bersama-sama membuat aturan hukuman yang sifatnya mengambil. "Misalnya hukumannya Rp 2 miliar harus dibayar, disita, ditambah pemberatan berapa miliar. Hukuman badannya tetap jalan, namun jangan hilangkan hak dia sebagai napi," kata dia.
Ia melanjutkan, "Saya jauh-jauh sekolah, kebetulan ini bidang saya. Saya paham betul filosofinya. Mari kita bahas bersama."
(hel)