Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menilai lembaga antirasuah dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan melalui bukti baru.
"Kalau mau mengajukan PK harus ada novum (bukti baru) karena menyangkut materi. Pasal 11 ayat 1 UU KPK menjelaskan KPK berhak menyelidiki pihak lain selain penyelenggara negara dan penegak hukum, bisa pejabat dan lainnya," ujar Abdullah ketika ditanya awak media di bilangan Senayan, Jakarta, Minggu (15/3).
Menurutnya, apabila Budi tak dapat ditetapkan lantaran bukan penyelenggara negara atau penegak hukum, maka ia dapat dikategorikan sebagai pihak lain dalam pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasar penelusuran CNN Indonesia, Pasal 11 huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjelaskan komisi antirasuah berhak menyelidik dan menyidik tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya.
Terlebih, dalam huruf selanjutnya, KPK berhak menyelidik jika orang tersebut mendapat perhatian dari khalayak. "Saat KPK menetapkan BG tersangka, dia diberitakan di media dan semua orang tahu," ujarnya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Abdullah telah mendesak penyidik KPK untuk tetap mengajukan PK. "PK memang tidak bisa diajukan penegak hukum. Tapi karena kejahatan luar biasa, saya mehyarankan tetap PK," ujarnya.
Bukti Hakim Labrak KewenanganSelain itu, Abdullah menjelaskan bukti lain yang dapat diajukan yakni adanya kewenangan berlebihan yang dilakukan Sarpin.
"Hakim melampaui kewenangan, itu bisa jadi bukti. Pasal 77 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), hakim hanya bisa memutus yang upaya paksa. Padahal KPK belum menggeledah," katanya.
Berdasar penelusuran CNN Indonesia, Pasal 77 KUHAP tak mencantumkan kewenangan hakim praperadilan untuk memutus keabsahan penetapan tersangka oleh lembaga penegak hukum, salah satunya KPK.
Pasal tersebut secara limitatif menjelaskan kewenangan hakim sebatas memutus keabsahan penangkapan dan penahanan; sah atau tidak penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
Sepakat dengan Abdullah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Ganarsih menjelaskan pasal tersebut tak memberikan kesempatan pada hakim untuk memutus keabsahan penetapan tersangka.
"Legalitas KUHAP lebih keras dr KUHP 'Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), jadi tidak bisa ditafsirkan. Pasal 3 KUHAP menjelaskan peradilan di Indonesia harus dilaksanakan berdasarkan KUHAP," kata Yenti kepada awak media, di Jakarta, Minggu (15/3).
(meg)