Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan, Polri tidak mampu mereformasi diri menjadi institusi yang berwatak sipil. Padahal menurutnya, setelah dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), kepolisian dituntut untuk menjadi lembaga sipil yang demokratis.
"Reformasi Polri tidak membahagiakan dan cenderung membahayakan. Mereka menggantikan peran kebengisan ABRI di Orde Baru. Mereka tidak membangun kesetaraan dengan masyarakat," ujarnya di Jakarta, Senin (16/3).
Haris berkata, salah satu implikasi pemisahan Polri dari TNI adalah penerapan konsep checks and balances di kepolisian. Ia mencontohkan, sebelum menjalankan kewenangannya untuk menggeledah, kepolisian membutuhkan izin dari pengadilan. Akan tetapi, Haris menuturkan saat ini kepolisian malah kerap bertindak di luar batas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini polisi kok bisa sewenang-wenang. Menangani kasus yang tidak perlu, kasus pelanggaran yang sebenarnya semua orang lakukan," ucap Haris merujuk pada kasus dugaan pemalsuan data administratif kependudukan yang menjerat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Abraham Samad.
Haris pun menyatakan, salah satu penyebab hal ini adalah tidak efektifnya sistem pengawasan terhadap kepolisian sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Kontrol yang dilakukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Ombudsman, DPR serta lembaga negara lainnya tidak ditanggapi kepolisian. "Seluruhnya diacuhkan bahkan dikriminalisasi," tegasnya.
Merujuk pada catatan KontraS, Haris menuturkan pengawasan terhadap Polri selama ini bersifat musiman, individual dan hanya ditujukan pada kasus-kasus tertentu. Terhadap isu terorisme misalnya, ia berkata, Polri tidak dapat dikontrol.
"Ada isu dan jabatan tertentu di kepolisian yang tidak bisa dikontrol. Kita seperti menunggu juru selamat muncul di kepolisian. Sampai kapan polisi seperti ini," ucapnya.
Reformasi kepolisian, menurut Haris, sangat ditentukan oleh dorongan politik dari level pemimpin negara. Ia meminta Presiden Joko Widodo belajar dari pengalaman Presiden Georgia Mikheil Saakashvili yang sukses merestorasi kepolisian Georgia yang korup dan tertutup.
"Saat ia menjadi presiden, satu per satu polisi diperiksa. Hasilnya, 60 persen polisi tidak cocok meneruskan pekerjaannya. Kantor polisi pun kemudian dibangun dengan kaca agar transparan. Reformasi itu dipimpin langsung oleh presiden," katanya.
(hel)