Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana hari Selasa (24/3) ini batal menjalani pemeriksaan di Barerskrim Polri terkait kasus dugaan korupsi
Payment Gateway di Kementerian Hukum dan HAM.
Kuasa hukum Denny, Heru Widodo, beserta rekan-rekannya mendatangi Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, untuk mengklarifikasi berita soal rencana pemeriksaan hari ini. Menurutnya, Denny hingga pagi tadi masih belum menerima surat panggilan.
"Kami menghadap penyidik, Pak Joko, dan ternyata memang jelas. Tidak ada panggilan hari ini," kata Heru saat keluar dari gedung Bareskrim.
Dia juga mengklarifikasi kliennya sebenarnya memenuhi panggilan pemeriksaan pertama melalui kuasa hukumnya. Sementara pada saat pemeriksaan kedua, Denny hadir dan menandatangani sendiri berita acara pemeriksaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hanya saja karena memang dalam prosesnya tidak boleh didampingi pengacara jadi beliau menolak untuk melanjutkan," ujar Heru. "Jadi beliau tidak pernah mangkir."
Dia juga menyatakan kliennya akan terus menghormati proses hukum dan siap diperiksa jika diminta. Mengenai kemungkinan dijadikan tersangka, menurutnya, itu masih perlu diklarifikasi.
"Bukan soal siap tidak siap kalau jadi tersangka. Kami klarifikasi secara objektif. Bisa jadi itu belum dua sisi, hanya dari sisi pelapor," ujar Heru.
Sebelumnya, Mabes Polri menyatakan akan memeriksa Denny hari ini. Kebareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso bahkan menyatakan Denny sudah bisa ditetapkan sebagai tersangka.
Denny diduga terlibat korupsi pengadaan proyek layanan
online pembuatan paspor
Payment Gateway di Kementerian Hukum dan HAM yang menimbulkan potensi kerugian negara.
Dalam layanan
Payment Gateway, wajib bayar dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 5.000. Padahal Peraturan Menteri Keuangan tidak mengizinkan adanya pungutan tambahan untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Oleh sebab itu pada 11 Juli 2014, Kementerian Keuangan mengirim surat ke Kemenkumham untuk menghentikan program
Payment Gateway itu. Atas dasar surat tersebut, Amir Syamsuddin yang saat itu menjabat Menkumham lalu menghentikan program itu.
(utd)