Pemerintah didesak mencabut Peraturan Bersama Dua Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 soal Pendirian Rumah Ibadah. Materi dalam peraturan tersebut dinilai tak mendukung upaya menciptakan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
"Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah perbandingan angka 60 dan 90. Kalau jumlah pemohon pendirian rumah ibadah kurang dari 90 di desa atau kelurahan setempat, bisa dicarikan untuk menggenapi ke tingkat kecamatan, atau kabupaten kota," ujar Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, Jayadi Damanik, dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Selasa (7/4).
Sebaliknya, untuk menyetujui pendirian rumah ibadah, sedikitnya harus mengumpulkan dukungan dari 60 orang. "Dihubungkan dengan mayoritas, kecenderungan untuk intoleran potensial di situ," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, konten yang dinilai multitafsir yakni terkait frasa pemerintah memfasilitasi. "Pemerintah wajib memfasilitasi untuk membangun rumah ibadah. Tapi apa? Justru menyegel dengan alasan untuk ketertiban umum," karanya melanjutkan.
Kasus penyegelan oleh pemerintah daerah ditemukan Komnas HAM di berbagai wilayah. Pada triwulan pertama tahun 2015, Komnas HAM mendapatkan laporan soal penghentian pembangunan Masjid Nur Musafir Batuplat di Kupang. "Komnas HAM telah mengirimkan surat klarifikasi ke wali kota Kupang. Komnas HAM menilai terjadi pelanggaran pendirian rumah ibadah warga muslim," katanya.
Pemerintah Kota Kupang dan sebagian warga masyarakat dituding melakukan pelanggaran lantaran menghalang-halangi pembangunan masjid. Untuk penyelesaian kasus, Komnas HAM telah meninjau beberapa lokasi dan melakukan pertemuan khusus dengan pengurus dan pemerintah. Namun hingga kini, belum ada kejelasan perkembangan.
Sementara itu, penyebab tersendatnya pembangunan rumah ibadah, Komnas HAM juga menilik aspek sosiologis, "Ada penularan intoleransi yang sengaja dilakukan sebagai tindakan balas dendam atas tindak pelanggaran yang dialami saudara seagama di daerah lain," tuturnya. Alhasil, mereka juga menuntut penuntasan masalah di daerah lain sebagai syarat penyelesaian kasus di daerah tertentu.
"Hal ini sangat mengkhawatirkan karena akan terus melahirkan mata rantai pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang sulit diputus," ucapnya.
(hel)