Presiden Joko Widodo dituding tak berkomitmen untuk memberantas kekerasan yang mengatasnamakan agama. Pasalnya, payung hukum penjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tak segera disiapkan. Bahkan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama gagal lolos dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015 hingga 2019.
"Ini indikasi lemahnya sensitifitas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap masalah kekerasan atas kelompok minoritas," ujar Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, Jayadi Damanik, dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Selasa (6/4). Padahal, undang-undang merupakan peraturan tertinggi kedua setelah konstitusi, UUD 1945.
"Padahal akarnya kan aturan perundang-undanganan. Bagi kita yg harus dijamin adalah kebebasan HAM bukan belas kasihan," tuturnya melanjutkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menyayangkan nihilnya negosiasi yang kuat antara Kementerian Agama selaku pengusul undang-undang dengan DPR. Sebagai alternatifnya, kini Komnas HAM tengah menyusun kajian untuk memberikan draf rancangan menurut versinya. "Konstruksinya adalah kebebasan tidak boleh dibatasi oleh negara. Tidak seperti sekarang yang hanya enam agama," tuturnya.
Lebih jauh, Komisioner Komnas HAM dan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Imdadun Rahman juga menyesalkan hal yang sama. "Beberapa waktu lalu, Komnas HAM bertemu Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin. Ia menyampaikan Departemen Agama akan mengajukan inisiatif RUU PUB dan Maret akan diluncurkan. Tapi ketika di DPR, RUU tidak masuk prolegnas. Ini membuat komnas HAM kecewa," katanya.
Nihilnya payung hukum tersebut menepis optimisme mereka untuk menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga negara Indonesia. Sementara itu, aturan yang ada dinilai cenderung mengerdilkan kebebasan tersebut. "Peraturan Bersama Dua Menteri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 soal pendirian rumah ibadah dan Surat Keterangan Bersama Tiga Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, justru telah menjadi akar munculnya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan," ujar Jayadi.
Padahal, sederetan kasus lama dan kasus baru yang muncul di awal tahun menanti untuk segera dituntaskan. Merujuk catatan Komnas HAM, dalam triwulan pertama tahun 2015, ditemukan sedikitnya lima kasus kekerasan mengatasnamakan agama. Kekerasan tersebut antara lain pelarangan penggunaan rumah ibadah di Mushalla As Syafiiyah di Kota Denpasar, penghentian pembangunan masjid Nur Musafir Batuplat di Kupang, penyegelan masjid jamaah Ahmadiyah di Depok, kekerasan di Masjid Az Zikra Bogor, dan pelarangan penggunaan masjid Ahmadiyah di Banjar.
Selain itu, kasus penyebaran kebencian terhadap kelompok lain juga mencuat ke permukaan. Sekolompok orang telah mendeklarasikan diri sebagai Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) di Bandung, Subang, Garut, Balikpapan, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Cirebon. Aliansi tersebut juga menggelar ceramah terbuka untuk membenci Syiah.
"Dalam pengalaman Komnas HAM menangani masalah, kegiatan ini adalah langkah awal tahap persekusi (penyerangan sewenang-wenang). Bila dibiarkan, secara teoritis akan pecah kekerasan," ujar Imdadun. Menurutnya, pola demikian telah terjadi beberapa kali di masa lalu yang menjadi awal perpecahan.
(hel)